Broken home

321 111 123
                                    

Jika memang benar begitu, berarti Ella sayang dong sama aku?. "Aaa my baby girl." Aku memeluk adikku yang sedang tidur pulas itu. Saking pulasnya bibir kecil itu sedikit terbuka. Aku berusaha untuk merapatkan bibir milik adikku itu agar tenggorokannya tidak terasa kering saat ia bangun nanti.

Ketika aku hendak tidur bersama Ella bel berbunyi. "Siapa yang bertamu malam-malam begini?" aku berdiri dan menyalakan lampu lalu berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka nampaklah Karina temanku.

Matanya sembab, hidungnya merah dan ada beberapa lebam di tubuhnya. Aku langsung tahu apa penyebab "Ayo masuk. Udah makan?" tanyaku sambil memapah temanku ini masuk ke dalam. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya hanya suara isakan yang seperti di tahan-tahan.

Flashback On

Karina POV

Aku keluar dari sebuah minimarket dengan membawa 2 kantong plastik besar di kedua tanganku. "Pasti Oma, Opa, Nenek dan juga Kakek seneng banget aku bawain ini," Aku berjalan dengan perasaan senang. Senyumku merekah sepanjang jalan.

Hari ini aku baru saja gajian dan mendapatkan bonus 20% atas apresiasi kerjaku yang di nilai sangat baik oleh pihak Rumah sakit bulan ini. Untuk merayakannya aku membeli makanan kesukaan Oma, Opa, Nenek, dan juga kakek ku. Aku juga berencana untuk memasak daging hari ini khusus untuk mereka berempat.

Ya. Oma, Opa, Nenek dan juga Kakekku tinggal satu atap dengan Aku, Ayah dan Bunda. Karena mereka memiliki anak tunggal yaitu Ayah dan Bundaku jadi ketika mereka sudah renta mereka memilih tinggal bersama kami.

Aku sangat bahagia bisa tinggal dengan mereka berempat. Meskipun mereka semua diatas kursi roda. Tapi, mereka sangat perhatian kepada ku. Tapi di sisi lain ...

"MIRNA ... MIRNA ... MIRNA! IBUMU BAU NIH MANDIIN DONG!" Aku bisa mendengar teriakkan Ayah dari kejauhan

"SEBENTAR AKU KAN LAGI NGURUSIN BAPAKMU!" Sama halnya dengan Ayah, Bunda menjawab dengan suara yang sangat keras.

Aku menghela napas, senyumku pudar seketika. Aku berjalan sambil menundukkan kepala, aku sangat malu dengan para tetangga, karena hampir setiap hari kedua orang tuaku bertengkar gara-gara orang tua mereka sendiri.

Aku membuka sepatuku, lalu masuk ke dalam. Kaki ku baru saja masuk sebelah. Tapi, pemandangan yang sungguh luar biasa menyambutku.

"Kamu tuh jadi laki mikir dong jangan ngurusin burung aja tiap hari," ucap Bunda sambil menunjuk-nunjuk Ayah penuh emosi.

Ayah yang tadinya sedang berjongkok di depan sangkar burung, tiba-tiba berdiri menghadap Bunda. Wajahnya sangat merah menandakan beliau sangat merah. "Dasar perempuan gak punya otak. Ini kan pekerjaanku ya harus aku urusin lah" Ayah membela diri. Padahal setiap bulan aku yang menanggung biaya hidup.

"Hallah, omdo! Mana buktinya mana uangmu kan selalu abis pake ngadu ayam sama si Sholihin." Bunda kembali menunjuk-nunjuk Ayah.

"Kamu yang gak bisa ngatur duit. Kemarin pas aku kasih uang 4 juta hasil lomba kicau burung di kemanain? HABISKAN PAKE ARISAN," Ayah membela diri kembali.

Bunda berjalan menuju dapur dan di ikuti Ayah. Aku segera masuk ke dalam karena sebentar lagi pasti akan terjadi perang dapur.

Prangg ...

Terdengar suara gelas pecah. Semoga saja itu bukan gelas cantik yang di cicil Bunda 2 hari yang lalu atas namaku. Karena itu belum lunas, rencananya hari ini baru akan ku lunasi.

"Uang empat juta cukup beli apa? Kita tuh tinggal di Jakarta mas Jakarta." Sekarang giliran Bunda yang membela diri

"Ya kamu harus hemat dong. Jangan semuanya di beli. Terus jangan arisan mulu buktinya kan di tipu mulu." Kalau di pikir-pikir perkataan Ayah ada benarnya juga.

Life | Giselle ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang