Keluarga

206 77 145
                                    

Tiga minggu kemudian.

Sesuai ucapanku kepada Beomgyu, tanggal dua puluh empat desember kemarin, aku dan Ella pulang ke Bandung. Dua tahun sudah aku tak pulang ke sini. Sebab, setiap libur panjang, baik itu libur panjang hari raya idul fitri ataupun libur panjang akhir tahun, Ella selalu ingin pulang ke Ciamis. Alasannya ia ingin bertemu dengan mama papa di tempat peristirahatan terakhir mereka. Dan aku tak bisa menolak itu.

Bandung, kota yang berjulukan Paris Van Java ini, menyimpan sejuta kenangan manis bagiku, ya ... walaupun aku tak dilahirkan di sini. Tetapi, aku punya banyak kenangan di kota ini. Mulai dari, serunya bertamasya di kebun binatang setiap weekend bersepeda sore di sekitar Lapangan Gasibu. Atau dulu, aku suka merengek ingin naik bandros atau Bandung Tour on The Bus  kepada opa. Tak lupa jika bulan ramadhan, aku dan keluarga besarku sering ngabuburit  di alun-alun kota Bandung lalu berbuka puasa di sana, terkadang kami juga melaksanakan salat tarawih. Dan kenangan-kenangan sederhana lainnya yang selalu berhasil membuatku rindu akan masa kecil.

Belasan tahun berlalu, kota ini banyak berubah. Kecuali rumah opa, rumah sederhana tetapi nyaman ini, adalah tempat aku dibesarkan. Walaupun berada di gang, rumah opaku ini sangat asri. Karena sejak beliau pensiun dari pekerjaannya sebagai TNI angkatan darat, beliau rajin bercocok tanam dan beternak.

Beliau menanam berbagai jenis sayur-sayuran dan buah-buahan favoritku dan sepupu-sepupuku. Mulai dari sayur sawi, kangkung, buah naga, stroberi dan lain-lain yang sekiranya dapat ditanam di depan rumah.

Beliau juga sosok suami yang romantis. Hal itu dapat dilihat dari kebiasaannya yang suka mengantar jemput oma yang merupakan guru bahasa inggris sekolah dasar, menggunakan sepeda ontel kesayangannya. Bukan karena ia tak bisa mengendarai sepeda motor ataupun mobil. Hanya saja, beliau ingin mengenang masa-masa mudanya dengan oma dulu, yang sering berjalan-jalan menggunakan sepeda tua itu.

Oma dan opa terpaut usia lima belas tahun. Jadi, oma masih bekerja sedangkan opa sudah pensiun.

"Icel?" panggil seseorang menyela pikiranku.

Aku membalikkan tubuhku ke arah sumber suara, dan ternyata itu adalah Kak Tri sepupuku.

"Iya," sahutku dengan senyum dan berjalan menghampirinya.

"Mau sarapan dengan apa?" tanya Kak Tri lembut.

"Apa saja. Karena kalau yang masak Kakak pasti enak," ucapku.

Kak Tri hanya terkekeh mendengar ucapanku barusan. Lalu kembali masuk ke dalam.

Kak Tri adalah cucu tertua ketiga opa, ia adalah seorang guru matematika. Aku sangat dekat dengannya, karena ia sama denganku. Sama-sama anak yatim-piatu. Jadi, sedari kecil ia tinggal bersamaku di rumah opa. Bahkan setelah ia dewasa ia lebih memilih untuk tinggal di rumah opa, untuk merawat opa dan juga oma. Ia memiliki dua orang kakak laki-laki bernama Ryan, yang sekarang bekerja di Dubai Uni Emirat Arab sebagai dosen, dan satu lagi bernama Andrian yang kini menjadi guru matematika sama seperti dirinya.

Aku duduk di kursi yang ada di teras rumah. Menikmati udara sejuk pagi hari yang menenangkan, ditambah kicauan burung kenari terdengar sangat merdu. Aku memejamkan mataku, menikmati kicauan burung yang seakan berlomba dengan suara mesin kendaraan yang lalu-lalang di depan rumah. Tak lupa suara para ibu-ibu yang sedang berbelanja di samping rumah ikut menyemarakkan pagi ini. Namanya juga tinggal di gang.

"Jam berapa kamu sampai?" tanya seseorang dengan suara khas orang tua.

Aku terperanjat lalu membuka mata dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat opa sedang duduk sambil mengelus-ngelus janggut putihnya.

Life | Giselle ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang