SEMUA KARENA TAKDIR

596 49 0
                                    


Bastian membanting tubuh lelahnya di atas sofa malas. Dasi yang melingkar seharian di leher dilepaskan dengan kasar. Setelah pertengkaran dengan Aluna, Bastian enggan untuk sementara menginjakkan kaki di kediaman rumah penuh kenangan Aluna di dalamnya. Malam itu, Bastian memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya.

Mama Bastian yang mengekori sejak ia datang masih berdiri tegak dengan benak diserbu rasa penasaran. Raut wajah Bastian yang masam ditambah lagi dengan tidak hadirnya Aluna di sisi Bastian membuat mama Bastian mulai menerka-nerka.

"Ke mana Aluna?" tanya mama Bastian yang dirundung penasaran akut.

"Dia tidak akan lagi ke sini dan tak akan lagi menjadi istriku. Aku akan menceraikan Aluna, Ma." Begitu lancarnya Bastian memberitahukan keputusan bulatnya mengakhiri pernikahannya dengan Aluna.

"Apa? Kenapa?" mama Bastian tercengang mendengar berita perceraian putranya.

"Mama tahu sendiri aku sudah ngebet untuk punya anak. Aluna sampai saat belum hamil apalagi menunjukkan tanda-tandanya. Aku tak bisa menunggu lagi. Mungkin ini sudah pilihan terbaik bagi kami berdua." Dengan menyembunyikan perselingkuhannya, Bastian mengujarkan alasan di balik perceraiannya dengan Aluna.

"Mama sudah bilang sejak awal, kan? Aluna enggak baik untukmu, Nak. Lihat saja dulu saat kalian masih berpacaran, sibuk mengejar karir tapi ujung-ujungnya ditinggalkan juga setelah kalian menikah. Di mana-mana orang menikah satu tahun saja sudah memiliki anak. Kalian sudah dua tahun menikah, tapi..."

"Sudahlah, Ma!" Bastian menyela. "Keputusanku sudah bulat untuk bercerai dengan Aluna."

Mama Bastian pun akhirnya mengalah dan tak mendesak Bastian untuk lebih dalam. Alasan yang dijadikan Bastian untuk menceraikan sosok wanita tak direstuinya sejak awal pernikahan sudah menjadi pendukung kuat bagi mama Bastian.

Mama Bastian menyeringai sadis. Di dalam bantinnya tersusun rencana apik yang akan dilancarkannya esok hari.

"Beristirahatlah, Nak. Selamat malam."

***

Selembar roti gandum panggang dan segelas susu rendah lemak sudah tertata di atas meja. Rentetan peristiwa kemarin yang menguras hati dan perasaan sirna oleh treatment wajah dan badan di klinik kecantikan milik dokter sekaligus terkenal.

Perut yang sudah keroncongan dan hasrat untuk melahap menu ringan sarapan pagi Aluna tertahan saat pikirannya terlintas sosok pria menyebalkan, Oliver.

Kedua mata Aluna dengan jelas melihat Oliver masuk ke dalam ruangan pemilik klinik. Senyum ramah yang begitu tulus saling berbalas pun tak luput dari perhatian mata Aluna saat pemilik klinik kencantikan itu menyambut Oliver.

"Dia mau apa, ya? Mungkin..." Aluna berhenti berucap. "Ah! Sadarlah, Aluna! Urusan dia mau apa dengan dokter itu, bukan jadi urusanmu. Lagipula kalian tidak saling mengenal!" telapak tangan Aluna refleks menepuk dahinya lalu mulutnya sibuk mensugesti diri.

"Lebih baik aku makan. Mana sempat memikirkan orang menyebalkan seperti dia! Keburu lapar, dong!" sambungnya menggerutu tak jelas.

Baru saja ibu jari dan telunjuk kanan mencapit roti gandum panggang, barisan gigi yang sudah tak sabar menggigit menu sarapan pagi karbohidrat itu tertunda oleh suara ketukan pintu depan.

Suara ketukannya semakin menguat dan tak sabaran membuat Aluna segera bangkit dari duduknya. Setengah berlari Aluna menuju pintu depan yang menjadi akses masuk dan keluar rumah minimalisnya.

"Mama?" Aluna terkaget mendapati mama Bastian datang ke rumahnya.

"To the point aja, ya. Aku sudah mendengar dari Bastian dan otomatis kau tak pantas memanggil aku dengan sebutan mama!" ucap mama Bastian bernada angkuh.

Romantic TrapsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang