PERTEMUAN KEDUA

654 51 0
                                    


 "Jessi." Suara serak Aluna memanggil akrab nama sahabatnya melalui sambungan telepon.

"Aluna? Kau kenapa? Suaramu seperti menangis." Jessi kalap dalam kecemasannya.

Tanpa terlihat oleh Aluna, wanita cantik berambut panjang itu beranjak dari duduknya. Jessi berdiri tegak di hadapan meja kerja dengan tumpukan file dokumen yang menunggu untuk diselesaikan.

"Semuanya sudah selesai. Aku minta cerai dari Bastian. Si Brengsek itu selingkuh dengan Valerie, sekretarisnya." Suara serak Aluna bergetar, tangisannya pecah tak mampu tertahankan.

Jessi terperangah. Mulutnya menganga kecil. Sejenak, otak Jessi tak bisa bekerja baik untuk menghasilkan kata-kata bijak menenangkan Aluna yang terguncang.

"Pulang kerja nanti aku akan mengunjungimu," ucap Jessi memecahkan keheningan yang membentang.

Aluna mengangguk-angguk. Hatinya merasa sedikit terhibur mendengar sahabat terbaik di hidupnya ingin datang menghampiri.

"Aku sudah angkat dari rumah Bastian. Mulai hari ini,"-lirikan mata Aluna mengawasi ruangan berdebu di depan mata-"aku kembali menempati rumah milikku." Aluna memberitahu dengan suara serak dengan nada melambat.

Sambungan telepon itu terputus setelah Aluna mendengarkan balasan jawab atas ucapannya.

Aluna bergegas merapikan rumah yang akan menjadi tempat berteduhnya.

Hati yang terluka, jiwa yang teriris akan delusi kejam pemberian dari Bastian membiarkan kegelapan menyapa Aluna sejenak. Namun, Aluna tak mau berdiam diri dalam kegelapan yang kedatangannya tak diundang. Berjalan pelan sambil menemukan titik terang untuk cahaya kembali bersinar, Aluna mencoba bangkit dari delusi kejam kehidupan.

Rumah minimalis berlantaikan satu itu telah rapi, jauh dari debu-debu yang mengotori. Pemiliknya begitu bersemangat membersihkan tiap sudut ruangan. Gorden-gorden tersibakkan, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam ruangan.

Jessi, sahabat terbaik yang dinanti pun tiba. Keduanya saling duduk bersebelahan di atas sofa empuk dari ruangan santai rumah Aluna.

"Rasanya semua ini seperti mimpi, Jessi. Tanpa aku sadari, aku kehilangan jejak kaki pria yang dulu selalu mencintaiku. Tujuh tahun kebersamaan yang diisi oleh canda tawa begitu mudahnya dilupakannya. Janji pernikahan yang terucap dua tahun lalu hanya dijadikan omongan belaka. Mimpi indah yang terangkai hanyalah sebuah mimpi. Hanya karena aku belum bisa memberikan anak, Bastian tega mengkhianatiku."

Airmata Aluna jatuh membasahi pipi. Curahan hati atas rasa kecewa pada Bastian membuat wanita cantik itu kembali dirundung oleh kesedihan. Kaleng minuman dicengkram kuat, dijadikan korban dari rasa sakit hati yang mendera.

"Menangisi si bodoh itu hanya akan membuat matamu kembali bengkak. Kau wanita cerdas, Aluna. Kau wanita hebat. Kau bisa hadapi ini semua. Beruntung tabiat jeleknya itu terendus cepat. Ya... walaupun dua tahun pernikahan bukanlah waktu yang singkat kalian lalui, tapi ada baiknya kau tersakiti sekarang daripada nanti perasaanmu semakin berlarut. Menurutku, masalah kalian yang belum memiliki anak hanya alasan klise saja! Dasar Bastiannya saja yang enggak kuat iman!" Jessi mengomel kesal mengetahui betapa kurang ajarnya Bastian menyakiti Aluna.

"Dengar ya, Lun! Setiap insan di dunia sudah memiliki porsi takdir dan ujiannya masing-masing. Mungkin ujian yang Tuhan berikan padamu kali ini sungguh berat untuk kau terima. Tapi percayalah, Tuhan memberikan ujian karena Tuhan sayang padamu. Saking sayangnya, Tuhan membuka matamu dan melihat betapa jeleknya pria yang mengisi hatimu selama tujuh tahun ini. Anggap dua tahun pernikahan kalian sebagai pelajaran hidup untukmu di masa depan. Bastian tak pantas untuk kau tangisi, Aluna."

Romantic TrapsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang