bagian 17

0 0 0
                                    

Ibu!” teriakku tertahan. Kaget setengah mati. Ini sulit dipercaya. Ibu meneleponku? Aku kehilangan suara. Tak tahu harus berkata apa. “Pulanglah, Nak… Pulang.”“Apa?” Nafasku tercekat di kerongkongan. Untuk pertamakali setelah hampir lima tahun, kata itu menggema begitu kuat menggetarkan  nadiku. Tap. Kututup telepon tanpa memberikan jawaban.PERCAKAPAN singkat di telepon seminggu lalu membuat aku berada di sini. Di dalam taksi yang membawaku dari bandara menuju ke perkebunan. Masih teringat bagaimana kebingungan melandaku sebelum memutuskan untuk kembali.   “Pulanglah. Mungkin amarah itu sudah hilang,” ujar Brava saat kuceritakan mengenai telepon singkat ibu pagi itu.“Tapi, kenapa Ibu yang memintaku pulang?”“Apa bedanya Bi, keduanya orangtuamu!”Aku menggeleng lemah. “Itu bukan sikap Ibu yang kukenal selama ini.”“Kamu takut?” Brava menatapku.“Bukan, aku cuma…”“Belum siap?” Tatapan Brava semakin tajam. Namun, ia lantas merengkuh bahuku. “Kalau jalannya sudah terbuka, cepat melangkah sebelum jalan itu tertutup kembali.”“Kamu?”“Jangan pikirkan aku. Yang terpenting hubunganmu dan keluarga bisa kembali membaik.”“Tapi… aku mau mereka bisa menerima kita, bukan hanya aku.”Tapi… aku mau mereka bisa menerima kita, bukan hanya aku.””Isyarat itu hanya tertuju untukmu, Bi. Biarlah begitu dulu. Siapa tahu nanti kamu bisa membuka jalan untuk kita kembali ke sana berdua. Selalu ada kemungkinan, bukan?”Maka, aku akhirnya pulang setelah melewati sepuluh musim. Rindu di hati ini terbit laksana jingga di awal hari. Menggenggam utuh sebuah keyakinan akan revolusi baru dalam hidupku menjelang pergantian tahun ini. Aku mengalihkan pandangan, melihat kiri-kanan jalan dari balik kaca taksi. Mengamati lalu-lalang orang. Membaca hampir semua plang nama toko yang terlewati. Aku terkesima. Tidak ada yang berubah dari wajah kota kecilku ini. Oramenornamen Natal mulai ramai menghiasi sudut-sudut kota. Memasuki Desember, kota ini memang terlihat lebih meriah. Natal dan tahun baru selalu disambut dengan penuh sukacita di kota kecilku ini.

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/weekend/370314/menghidu-aroma-kenangan

kenangan tadi malamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang