bagian 16

0 0 0
                                    

Ya... Ibu memang selalu bersikap dingin padaku. Aku sering bertanya dalam hati, apa yang salah dengan diriku? Apa karena kulitku lebih putih dari kulit ibu yang sawo matang, atau rambutku yang lurus, bukan keriting seperti Ibu dan Luna.Aku memang berbeda. Luna adalah duplikat Ibu. Begitu yang sering kudengar dari para kerabat. Mungkin aku lebih banyak mewarisi genetik Bapak, hidung mancung dan tubuh tinggi, aku yakin itu turunan Bapak. Tapi, harusnya Ibu tidak membenciku hanya karena aku berbeda darinya. Aku selalu berusaha menjadi anak manis, berusaha membuatnya bangga dengan prestasiku di sekolah. Tapi, semakin aku menunjukkan prestasi, semakin jelas ketidaksukaan Ibu.Apa benar, gosip yang tak sengaja kudengar, kalau aku adalah hasil hubungan gelap Bapak dengan seorang buruh di perkebunan yang merupakan cinta pertamanya bapak, namun terhalang restu keluarga Bapak. Perempuan itu konon meninggal saat melahirkanku. Ibu yang saat itu belum juga mengandung setelah dua tahun menikah, terpaksa menerimaku.Ah… aku tak peduli gosip murahan itu. Yang terpenting, Bapak bangga padaku. Kebanggaan yang selalu ditunjukkan Bapak sembunyi-sembunyi dari pandangan Ibu. Saat kami menatap langit malam dan di kesempatankesempatan langka saat kami berdua. Hanya aku dan Bapak.Namun, itu dulu. Bapak berubah, saat aku memperkenalkan Brava, lelaki yang kukenal di sebuah pameran fotografi , sebagai kekasihku, di suatu malam saat Crux bersinar lebih cerah dari beberapa malam sebelumnya.Aku mulai lelah dengan semuanya. Dimulai dari sikap ibu, dan akhirnya menular ke Bapak. Membuatku berani mengambil keputusan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Di balik rasa cintaku terhadap Brava, pemberontakan itu kulakukan demi mendapatkan sebuah pengakuan. Aku ingin dihargai!Bahkan, di saat musim berganti setiap tahunnya dan tunas-tunas baru bermunculan, aku tidak akan pernah melupakan warna kuning pucat lampu jalan yang kulewati sepanjang malam itu.“Kamu berani, Bi?” tanya Brava waktu itu.“Apapun, asal bersamamu.” Aku menjawab dengan penuh keyakinan. Hanya satu yang terpikir di otakku. Aku tidak siap jika tali yang menyimpul hati kami terburai karena sebuah kata perbedaan.Itulah hari terakhir aku melintasi jalanan perkebunan dan tak pernah kembali. Tepatnya, Bapak melarangku menginjakkan kakiku lagi di sana selama aku masih berhubungan dengan Brava. Setelah melewati pertentangan yang melelahkan dengan keluarga, kuputuskan memilih jalan hidupku sendiri. Pindah ke Ibukota. Hidup bersama Brava yang seorang fotografer dan aku membuka salon kecil di sebuah jalan arteri.Kuusap wajah. Malam ini mendadak aku begitu melankolis. Semua berawal dari sebuah telepon yang kuterima pagi tadi.PUKUL sembilan pagi. ponselku berbunyi. Aku mengernyitkan kening. Jarang ada yang menghubungiku pagi-pagi begini.   “Bintang!?” Suara di seberang sana menyengatku bagai tawon.

kenangan tadi malamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang