bagian 15

0 0 0
                                        

Yok mulai..
Janganlah kau tutup matamu dari-Nya

Jangan butakan dirimu dengan nafsu

Waktumu masih berjalan

Dan sebelum waktu itu behenti

Sembuhkanlah matamu itu dari kebutaan

Dan bukalah lebar-lebar matamu…

Hanya untuk diri-Nya

Dari: orang tua yang selalu merindukanmuWeekend 20 December 2020, 00:10 WIBMenghidu Aroma Kenangan Triana Rahayu | Weekend   MI LANGIT hitam, terang. Kuning bulan sepenuh bunga matahari di pukul dua belas siang. Di sisinya, ada Orion yang siap menembak, sementara Seven Sisters berkumpul, dan Crux bergantung di selatan angkasa. Inilah saatnya aku menengadah. Begitu dulu seseorang mengajariku. Lelaki pertama yang mengenalkanku pada astronomi.Di bawah temaram sinar lampu taman, dengan bugenvil bermekaran, di tempat itu, dulu, Bapak biasa melakukannya. Bapak akan senang sekali begitu melihat tubuh kecilku menyusup keluar dari balik pintu rumah. Menemaninya menikmati malam. Hanya berdua.Sorot mata Bapak bagai gas helium, menatap langit malam. Ditemani sebatang cerutu yang diisapnya dengan hikmat, Bapak menjelaskan padaku  pengembaraan pikirnya melintasi sudut-sudut kosmik di jagat yang maha luas. Mengarungi samudera bintang gemintang, gugusan planet, bahkan mitos klasik tentang bintang jatuh. Penjelasannya akan berakhir bersama hilangnya asap tipis pelan dari cangklong cerutunya. Menutup kekagumannya akan jagat raya dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah berubah. “Karena itu kamu Bapak namakan Bintang, karena kamu adalah cahaya paling terang yang bersinar di hati Bapak.”Bagiku, menikmati pancaran wajah Bapak saat mengembuskan asap cerutu dari mulutnya lebih menarik daripada ceritanya tentang bintang gemintang. Pancaran kebahagiaan yang melampaui batas verbal. Cahaya kekagumanku.“Huft...” kuembuskan nafas. Bagaimana kabar Bapak sekarang? Apa jantungnya yang dulu suka dikhawatirkan Ibu baik-baik saja? Semoga saja ia tetap sehat seperti dulu. Saat tubuh besarnya menggendongku di punggungnya sambil mengawasi para pekerja di areal pembibitan, atau mengajakku berkeliling perkebunan dengan mobil off-road kesayangannya. Saat itu adalah masa terindah dalam hidupku. Saat kebersamaan tidak mengaburkan esensi cinta yang sesungguhnya.Tanpa terasa, sudah hampir lima tahun, aku tidak pernah bertemu Bapak. Pulang, kata itu seperti hilang dari keinginanku. Bukan, bukan hilang, tapi tersaput emosi yang belum juga surut. Ah... Alangkah nikmatnya menjadi kecil lagi. Saat Ibu memarahiku karena merebut boneka dan mainan Luna, adikku, biasanya aku akan menangis. Namun, tidak perlu waktu lama mengembalikan keceriaan di wajahku, tanpa dendam yang tertinggal menjadi sampah di

kenangan tadi malamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang