bagian 18

0 0 0
                                    

Yuuk lanjute-PaperWeekend 20 December 2020, 00:10 WIBMenghidu Aroma Kenangan Triana Rahayu | Weekend MI LANGIT hitam, terang. Kuning bulan sepenuh bunga matahari di pukul dua belas siang. Di sisinya, ada Orion yang siap menembak, sementara Seven Sisters berkumpul, dan Crux bergantung di selatan angkasa. Inilah saatnya aku menengadah. Begitu dulu seseorang mengajariku. Lelaki pertama yang mengenalkanku pada astronomi.Di bawah temaram sinar lampu taman, dengan bugenvil bermekaran, di tempat itu, dulu, Bapak biasa melakukannya. Bapak akan senang sekali begitu melihat tubuh kecilku menyusup keluar dari balik pintu rumah. Menemaninya menikmati malam. Hanya berdua.Sorot mata Bapak bagai gas helium, menatap langit malam. Ditemani sebatang cerutu yang diisapnya dengan hikmat, Bapak menjelaskan padaku pengembaraan pikirnya melintasi sudut-sudut kosmik di jagat yang maha luas. Mengarungi samudera bintang gemintang, gugusan planet, bahkan mitos klasik tentang bintang jatuh. Penjelasannya akan berakhir bersama hilangnya asap tipis pelan dari cangklong cerutunya. Menutup kekagumannya akan jagat raya dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah berubah. "Karena itu kamu Bapak namakan Bintang, karena kamu adalah cahaya paling terang yang bersinar di hati Bapak."Bagiku, menikmati pancaran wajah Bapak saat mengembuskan asap cerutu dari mulutnya lebih menarik daripada ceritanya tentang bintang gemintang. Pancaran kebahagiaan yang melampaui batas verbal. Cahaya kekagumanku."Huft..." kuembuskan nafas. Bagaimana kabar Bapak sekarang? Apa jantungnya yang dulu suka dikhawatirkan Ibu baik-baik saja? Semoga saja ia tetap sehat seperti dulu. Saat tubuh besarnya menggendongku di punggungnya sambil mengawasi para pekerja di areal pembibitan, atau mengajakku berkeliling perkebunan dengan mobil off-road kesayangannya. Saat itu adalah masa terindah dalam hidupku. Saat kebersamaan tidak mengaburkan esensi cinta yang sesungguhnya.Tanpa terasa, sudah hampir lima tahun, aku tidak pernah bertemu Bapak. Pulang, kata itu seperti hilang dari keinginanku. Bukan, bukan hilang, tapi tersaput emosi yang belum juga surut. Ah... Alangkah nikmatnya menjadi kecil lagi. Saat Ibu memarahiku karena merebut boneka dan mainan Luna, adikku, biasanya aku akan menangis. Namun, tidak perlu waktu lama mengembalikan keceriaan di wajahku, tanpa dendam yang tertinggal menjadi sampah di hati.Ya... Ibu memang selalu bersikap dingin padaku. Aku sering bertanya dalam hati, apa yang salah dengan diriku? Apa karena kulitku lebih putih dari kulit ibu yang sawo matang, atau rambutku yang lurus, bukan keriting seperti Ibu dan Luna.Aku memang berbeda. Luna adalah duplikat Ibu. Begitu yang sering kudengar dari para kerabat. Mungkin aku lebih banyak mewarisi genetik Bapak, hidung mancung dan tubuh tinggi, aku yakin itu turunan Bapak. Tapi, harusnya Ibu tidak membenciku hanya karena aku berbeda darinya. Aku selalu berusaha menjadi anak manis, berusaha membuatnya bangga dengan prestasiku di sekolah. Tapi, semakin aku menunjukkan prestasi, semakin jelas ketidaksukaan Ibu.Apa benar, gosip yang tak sengaja kudengar, kalau aku adalah hasil hubungan gelap Bapak dengan seorang buruh di perkebunan yang merupakan cinta pertamanya bapak, namun terhalang restu keluarga Bapak. Perempuan itu konon meninggal saat melahirkanku. Ibu yang saat itu belum juga mengandung setelah dua tahun menikah, terpaksa menerimaku.Ah... aku tak peduli gosip murahan itu. Yang terpenting, Bapak bangga padaku. Kebanggaan yang selalu ditunjukkan Bapak sembunyi-sembunyi dari pandangan Ibu. Saat kami menatap langit malam dan di kesempatankesempatan langka saat kami berdua. Hanya aku dan .

kenangan tadi malamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang