16. Rencana balas dendam

55.8K 10.3K 695
                                    

Zora duduk disamping brankar tubuh aslinya, dengan mata yang memejam, kedua tangan yang dilipat didepan dada, serta sebelah kaki yang diangkat ke kaki yang lainnya.

Matanya beralih menatap ponselnya yang menunjukkan pukul 2 pagi, kemudian menguap lebar. Ia mengantuk, ingin tidur. Tapi tetap ia paksakan untuk menemui Zico ditengah malam seperti ini.

Rumah sakit yang kebetulan sama dengan tempatnya dirawat membuatnya mudah menemui laki-laki itu.

Hari ini adalah malam Minggu, yang artinya besok adalah hari libur. Jadi sudah dipastikan bahwa Zico yang akan menjaga tubuh aslinya sendirian disini menggantikan kedua orang tuanya.

Pintu terbuka, membuat Zora spontan membuka matanya. Terlihat Zico masuk mengenakan kaus hitam polos dan rambut yang terlihat acak-acakan.

Zico menaikkan sebelah alisnya begitu melihat Zora yang sudah duduk disamping brankar menyambutnya.

"Ngapain lo malem-malem disini?"

Zora tidak menjawab. Matanya fokus menatap tangan cowo itu yang dibalut perban dan menenteng sebuah jaket.

Dugaannya benar. Zico yang melakukannya. Jaket yang disebut Shaga tadi memang merupakan jaket Zico yang couple dengan miliknya.

Jaket yang kata Revan pasaran itu sebenarnya adalah jaket limited edition custom darinya untuk Zico sebagai hadiah ulang tahun mereka yang ke tujuh belas kemarin.

Kelihatannya memang pasaran, tetapi bordiran pada huruf Z itu terlihat berbeda dan khas, hanya dengan sekali lihatpun Zora bisa mengetahui jika itu adalah jaket miliknya.

"Seharusnya lo ngajak gue, mau gue abadiin wajah-wajah melas tuh dua orang," seringai Zora.

Zico terkekeh. Ia terlihat berjalan mendekati Zora dan duduk disofa yang tersedia disana. "Entar ketahuan ga jadi deh lo deketin keluarganya."

Zora ikut terkekeh. "Tapi gue puas banget hari ini! Lo emang yang terbaik!" Zora mengancungkan dua jempolnya kearah Zico.

Zico menyugar rambutnya ke belakang. Ia tersenyum bangga. "Siapa dulu dong! Zico gitu loh."

Zora berdecak mencibir, tapi mengingat siapa yang sekarat sekarang, ia kembali terkekeh. "Btw lo salah target."

"Hah?" Zico mengerutkan keningnya bingung.

"Yang lo pukulin itu Shaka bukan Shaga."

Zico mencelos.

Jadi yang ia pukulin tadi bukan Shaga? Sia-sia kalau begitu. Ia sudah rela meninggalkan tubuh asli adiknya sendiri, dan mencopot plat motornya dan teman-temannya, tetapi yang ia pukuli justru salah sasaran.

"Masa lo ga liat liat dulu sih? Yang keliatannya songong itu Shaka, nah kalo yang dingin-dingin cool itu baru Shaga." Zora kembali terkekeh meledek begitu melihat reaksi Zico.

"Mana gue tau anjir! Lo ga ngomong sih," Zico menyalahkan Zora, tetapi ia kembali melanjutkan ucapannya. "Yaudahlah besok gue gebukin lagi tuh orang."

"Biarin aja, dengan lo buat mereka berdua dirumah sakit hari ini gue udah cukup puas. Sisanya, nanti biar gue yang bales."

"Lo pukulin mereka? Ga jadi lo deketin keluarganya?" Tanya Zico bingung.

Awalnya, Zora juga hendak melupakannya saja. Bertindak seolah-olah itu tidak pernah terjadi dan memilih jalan aman dengan mendekati semuanya, memperbaiki kehidupan Qiandra dan kembali ketubuh aslinya.

Tapi rasanya sungguh tidak enak. Perlakuan mereka semua padanya sejak ia masuk ke raga Qiandra, tidak bisa ia lupakan begitu saja.

Sejak kecil, ia terbiasa menang atas segalanya. Teman-temannya selalu menghormatinya. Keluarganya juga sangat menyanyanginya. Siapapun yang mengganggunya selalu ia balas hingga merasa puas. Jadi ... kenapa ia harus memaafkan mereka yang bahkan bukan siapa-siapanya ini?

Seventeen but Fifteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang