Zora memasuki rumah besar kebanggaan Alskarain sembari menyeret tasnya dilantai dengan malas. Tidak ada siapapun di ruang tamu.
Zora kemudian naik ke lantai dua. Ia berniat masuk kedalam kamar, tapi begitu mendengar suara grasak grusuk dari ujung kamar yang setahunya kosong, ia berbalik melangkahkan kakinya kesana.
'Gordennya jangan lupa diganti.'
'Karpetnya juga diganti.'
'Ini tolong lap yang bersih.'
Zora mengerutkan keningnya begitu mendengar suara Bi Nur yang semakin lama semakin terdengar keras ditelinganya.
Banyak pelayan kulur kilir ke dalam kamar itu, membuat Zora semakin penasaran. Gadis itu segera menggedong tasnya dengan benar kemudian bergegas mendekat ke kamar itu.
Begitu ia menginjakkan kakinya tepat dipintu kamar, Zora langsung merasakan sesuatu. Mulutnya terbuka kecil kala menangkap pemandangan kamar yang begitu menakjubkan.
Kamar yang bertema monokrom dengan kasur yang langsung menghadap jendela yang memghabiskan satu sisi dinding itu sukses membuat Zora menganga takjub. Matanya berbinar lebar.
Dibandingkan kamarnya ataupun kamar Shaka yang pernah ia masuki ketika ia mencuri kunci mobil milik cowo itu, kamar ini jelas berstandar tinggi.
Kamar ini benar-benar luas, membuat matanya seketika memandang iri kedalam sana.
Ia mau! Ia mau!
Tapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya, ketika semua pelayan tiba-tiba berbondong-bondong keluar bebaris rapi.
Zora ikut berbalik. Ia menatap ke arah tangga, menunggu apa yang terjadi.
Tidak lama, seorang laki-laki muncul dari bawah tangga, memijakkan kakinya dilantai dua diikuti oleh seorang pria muda dibelakangnya.
Semua orang seketika membungkuk melihatnya. Zora terdiam.
Rambut yang sedikit gondrong, janggut tipis, jas mewah yang membalut bahu lebarnya, serta suara ketukan sepatu mengkilat dari setiap langkahnya, benar-benar pas dengan paras dewa cowo itu.
Tanpa sadar, Zora yang menghalangi pintu kamar ikut minggir ketika cowo itu hendak masuk kedalam sana.
Laki-laki itu menatap Zora sekilas dari sudut ekor matanya, kemudian berlalu masuk kedalam kamar.
Pintu yang ditutup oleh sang bawahan membuat Zora kembali sadar. Ia mengerjap pelan, kemudian menatap para pelayan yang sudah kembali berdiri tegak begitu cowo itu masuk.
"Bi, dia siapa?" Tanya kearah Bi Nur, dengan jempol yang menunjuk pintu kamar didekatnya.
"Itu kakak tertua Non, tuan muda Giovano," katanya kemudian ikut membungkukkan badannya pada Zora, lalu ikut menyusul pelayan lain yang berlalu terlebih dahulu.
Zora melotot mendengarnya, ia kemudian menatap pintu kamar itu dengan shock.
Itu serius kakaknya? Beneran? Demi apa?!!
Wah, dibandingkan dengan kakak kandungnya Zico, atau kakak Qiandra, Shaka dan Shaga, dia jelas jauh berbeda. Ia seakan-akan memiliki aura yang tidak bisa ditentang oleh siapapun.
Dia benar-benar luar biasa! Kakaknya yang satu ini, benar-benar tipenya!
***
Zora berlari dari atas tangga dengan senyuman 2 jari. Ia terlihat benar-bebar bersemangat dengan piyama hitam polos serta rambut yang dicepol keatas, membuatnya benar-benar terlihat sangat cantik.
Zora kemudian menghampiri meja makan, cacing-cacing diperutnya sudah demo besar-besaran demi mendapatkan asupan.
Zora menarik kursinya dan langsung duduk disana, mengabaikan berbagai tatapan dari keluarga Qiandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen but Fifteen
Teen FictionKalau saja ia tidak menuruti mamanya untuk pergi ke supermarket, mungkin saat ini ia tidak akan terjebak didalam tubuh orang lain. Zora Anindithya, gadis berumur 17 tahun itu tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan tersebut membuatnya pindah ke da...