Saat ini Zora sedang berbaring santai di atas brankar sembari menatap kosong ke atas langit-langit kamar inapnya, bersama Bi Nur yang sedang mengupas beberapa buah apel.
Beberapa saat yang lalu dokter menyatakan bahwa dia mengalami amnesia sementara diakibatkan benturan di kepalanya yang tidak bisa dibilang ringan.
Ini gila! Bagaimana bisa dia dinyatakan amnesia padahal jelas-jelas ia mengingat semuanya.
Namanya Zora Anindithya, umurnya 17 tahun yang baru saja menginjak kelas 3 SMA beberapa bulan lalu. Putri bungsu dari seorang dokter terkemuka, serta memiliki kembaran sialan bernama Zico. Ia bahkan masih mengingat detik-detik kematiannya.
Tunggu! Detik-detik kematian?!
Zora reflek bangkit duduk, yang sedetik kemudian langsung meringis kencang sembari memegang punggungnya yang terasa sangat nyeri.
"Aduh non ... Kalau mau duduk pelan-pelan dong. Non'kan baru sadar," tegur Bi Nur, namun tak urung membantu gadis itu untuk berbaring kembali.
"Bisa tolong ambilin kaca?" Tanya Zora, mengabaikan celotehan wanita paruh baya itu.
Bi Nur dengan sigap membongkar tas berisi baju-baju milik gadis itu, sebelum akhirnya menemukan sebuah kaca yang langsung diterima dengan senang hati oleh Zora, setelah gadis itu mengucapkan terima kasih.
Prang!!
"Astaghfirullahaladzim!"
Bi Nur mundur beberapa langkah, menghindari pecahan kaca yang berhamburan dilantai setelah Zora tanpa sadar meluncurkannya begitu saja.
Sorot mata Zora berubah gusar, matanya mulai berkaca-kaca, nafasnya terlihat tidak beraturan. Otaknya sama sekali tidak bisa berpikir dengan jernih.
Hanya ada satu pertanyaan yang terus mengelilingi otaknya, 'Apa yang terjadi?'
Semua orang memanggilnya Non dan Qiandra. Dokter sebelumnya juga mengatakan bahwa ia mengalami kecelakaan ketika diangkot. Dan wajahnya bahkan ... berubah?
Ini jelas bukan dirinya!
Ia menepuk pipinya dengan pelan beberapa kali, berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukanlah mimpi. Tapi pipinya justru terasa sakit.
Bi Nur menatap Zora dengan tatapan aneh sekaligus panik. "Non ..."
Dengan mata yang berkaca-kaca. Ia memutar lehernya perlahan-lahan, menatap wanita paruh baya itu. "N-nama aku, siapa?"
Jantungnya berdebar kencang menunggu jawaban wanita itu. Dalam hatinya ia terus merapalkan doa agar jawabannya sesuai dengan ekspetasinya.
Namun, semuanya runtuh sia-sia ketika wanita paruh baya itu mengatakan, "Qiandra."
"Qiandra Anastasya Alskarain."
Zora terkekeh pelan, sorotnya kosong kedepan. Kemudian lama kelamaan kekehan tersebut berubah menjadi tawa yang keras, menertawakan dirinya sendiri, membuat Bi Nur sontak mundur ketakutan.
Sial, sial, sial! Rasanya Zora ingin mengancungkan jari tengahnya ke langit sekarang.
***
Dua hari kemudian, Zora sudah bersiap untuk pulang. Tubuhnya yang cepat membaik membuat dokter memperbolehkannya pulang lebih awal.
Zora terlihat duduk tenang diatas brankar sembari mengayun-ayunkan kakinya santai. Pikirannya jauh lebih baik dari sebelumnya.
Ia menolehkan kepalanya ke arah Bi Nur yang sedang melipat baju-baju miliknya ke dalam tas.
Gadis itu menghembuskan mafasnya kasar. Ini benar-benar sulit diterima oleh akal sehatnya.
Bagaimana bisa dirinya yang seharusnya sudah mati ini justru masuk ke dalam raga seorang gadis yang tidak pernah ia kenal sama sekali?
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen but Fifteen
Ficção AdolescenteKalau saja ia tidak menuruti mamanya untuk pergi ke supermarket, mungkin saat ini ia tidak akan terjebak didalam tubuh orang lain. Zora Anindithya, gadis berumur 17 tahun itu tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan tersebut membuatnya pindah ke da...