"Kemana kamu tadi siang, Qiandra?"
Suara Arka melantun cempreng ditelinga Zora sesaat setelah gadis itu duduk di kursi meja makan. Zora berdecak pelan, ia bahkan belum membalikkan piring, tapi pria tua itu sudah mulai menganggunya.
"Kamu tadi tidak masuk sekolah, kan? Kamu berani bolos?" Suara Arka naik satu oktaf ketika merasa Qiandra tidak menanggapi pertanyaan sebelumnya, membuat Zora gedek sendiri.
Tidak bisakah pria tua bangka itu berbicara lembut padanya sebagaimana ia berbicara pada Gio?
"Sakit elah," balas Zora malas. Tapi setelah itu ia bergumam kecil, "Kayak ga pernah sakit aja." Shaka disebelahnya tentu mendengarnya.
"KAMU BILANG SAKIT?! JELAS-JELAS KAMU KELUYURAN SAMA COWO DILUAR SANA DAN KAMU BILANG SAKIT?!!" Guratan kemarahan tercetak jelas disekitar leher pria paruh baya itu. Matanya bahkan melotot ke arah Qiandra seakan-akan ingin jatuh dari tempatnya.
Zora membanting sendok di tangannya keatas meja, menimbulkan suara yang cukup nyaring. "Lo ngga lihat muka gue udah merah-merah kayak gini?!"
Gadis itu terlihat terpancing, ia menujuk lehernya sendiri agar bisa dilihat lebih jelas oleh Arka.
Wajah gadis itu memang masih memerah tetapi tidak terlalu terlihat jelas seperti kemarin. Apalagi karena kulit putih salju milik Qiandra, hal itu justru lebih terlihat seperti memerah karena kedinginan.
"Qiandra ..." Shaka menegurnya pelan. Entah kenapa cowo itu sedikit menjadi tobat sejak kejadian dimana Zora memukul temannya kemarin.
"Dia kena alergi, aku yang nyuruh dia buat ga usah masuk sekolah," Gio ikut bersuara, cowo itu membela Qiandra. Membuat Arka sedikit melunak.
Yaiyalah! Mana bisa pria paruh baya itu menolak putra kebanggaannya sendiri.
Shaga menatap Qiandra, diikuti dengan Ana yang ikut menatap terkejut pada gadis itu. "Kamu punya alergi?" Tanya Ana.
"Iya! Alergi liat muka jelek lo!" Kata Zora nyalak.
Bisa tidak sih gadis itu tidak ikut campur disetiap masalahnya. Setiap kali ia kesal, gadis itu pasti akan ikut-ikutan menimbrung membuat rasa kesalnya bertambah berkali-kali lipat.
Arka berdehem pelan. "Yang kedua," Pria itu mulai bersuara lagi.
Zora menatapnya tercengang. Wah, si tua ini masih mau mencari ribut dengannya ya?
"Papa denger kamu mukul Nara sama temannya Shaka, kan?"
Zora berdecak pelan. Ia menatap Arka dengan santai sembari bersedekap dada. "Iya? Kenapa? Bangga kan lo punya anak tukang tinju kayak gue?"
"QIANDRA!!" Teriakan Arka menggema diruang meja makan yang megah itu.
Zora mengusap kedua telinganya kasar. Orang tua ini tidak bisa santai, ya? Sudah tua masih terus-terusan berteriak, memangnya dia pikir dirinya ini tuli apa?
"Bisa ngga sih kalo ngomong ga usah teriak-teriak? Tuh suara putus baru tau rasa!" Ia membalas dengan kesal.
"Dimeja makan kok teriak-teriak, dikiranya gue budeg apa?" Rutuknya dengan suara yang sedikit ia pelankan, tetapi sia-sia karena hal itu masih bisa didengar oleh yang lain.
Mendengarnya membuat Shaka tercengang, senakal-nakalnya ia, ia tidak mungkin berbicara seperti itu pada Arka.
Tanpa mereka sadari sebuah piring melayang hampir mengenai kepala Zora, jika saja gadis itu tidak menghindar.
Prang!
Suara pecahan piring itu menggema diruang makan yang sangat besar itu. Pecah-pecahan piringnya bahkan berhamburan dilantai dekat tempat duduk Zora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen but Fifteen
Fiksi RemajaKalau saja ia tidak menuruti mamanya untuk pergi ke supermarket, mungkin saat ini ia tidak akan terjebak didalam tubuh orang lain. Zora Anindithya, gadis berumur 17 tahun itu tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan tersebut membuatnya pindah ke da...