Part 3- Tidak seperti

244 41 0
                                    


Nakula Birendra, nama itu terpampang jelas di papan pengumuman sebagai peringkat 1 pararel di angkatannya. Sang peringkat 1 itu pun tersenyum puas, kemudian netranya mencoba mencari nama saudaranya Sadewa Birendra, mencari dari bawah tentu saja. Bukan maksud merendahkan, tapi Sadewa memang dewanya peringkat bawah jadi jangan salahkan Nakula.


"Engga usah nyari nama gue kak! Nama gue terlalu indah buat Lo cari."


Tanpa menuruti perintah Sadewa yang baru saja tiba di sampingnya, Nakula tetap mencari nama adiknya.

Dahi Nakula berkerut saat belum menemukan nama Dewa padahal matanya sudah memasuki peringkat 200.


Gotcha!


Ia tersenyum akhirnya Nakula menemukan nama adiknya itu tapi.....


"127?"


Sadewa menatap kakaknya bingung, "Ha? Apanya yang 127 kak?"

Nakula menunjuk satu nama di peringkat 127. "Ini nama kamu kan dek?"

Sadewa kemudian melihat apa yang ditunjuk oleh kakaknya sambil menyeruput es jeruknya yang hampir tandas dan Sadewa tersedak, berulangkali ia mengerjapkan matanya tapi sayangnya memang benar namanya ada di urutan 127.


"Salah ketik kali ya kak?" Ya mana mungkin Sadewa percaya ia di peringkat 127, biasanya aja dia diperingkat 300 keatas.


Berbanding dengan Sadewa yang masih tidak percaya, Nakula sekarang sedang meneliti nilai Sadewa yang menurutnya meningkat drastis. Matematika yang biasanya mendapat nilai 40 sekarang dapat 80.

"Nilai kamu bagus kok bang. Kamu engga seneng?"

"Ya seneng sih, cuma mana ada peringkat 300 jadi peringkat 127. Orang-orang pasti nanti mikirnya gue nyontek kali." Ucap Sadewa gamblang.


"Kakak juga mikir gitu sih." Ucap Nakula sambil mengangguk setuju dengan dugaan Sadewa.


"Tuhkaaaaan!!!"


"Tapi kan kakak yang ngajarin kamu pas mau UAS kemaren. Ya engga heran sih kalau kamu nilainya naik."


Sadewa berdecak sebal, "Ini niatnya hibur gue atau memuji diri sendiri kak?"

"Ya muji diri gue lah, ogah amat hibur Lo."

"Kakak sebenernya mau pakai 'Lo-Gue' atau 'Aku-Kamu' kalau ngomong sama Dewa? Heran gue dengernya."

"Terserah kakak yaaa!"

"Idih kaya cewek aja main terserah! Kak, eh mau kemanaaa?" Tanyanya saat melihat Nakula ternyata meninggalkan dirinya sendirian di depan papan pengumuman.

Dengan segera ia menyusul kakaknya yang ia tebak akan menuju papan pengumuman milik kelas 10 tepatnya untuk melihat peringkat adik kesayangan Nakula. Raden Birendra, si bungsu kesayangan Nakula. Sadewa juga sayang sih sebenernya tapi cuma 20%

Dapat Sadewa lihat kalau Raden berdiri dengan raut cemasnya, dalam hati ia tertawa. Pasti nilainya turun.


"Raden!" Suara Nakula kini bagaikan alarm tanda bahaya bagi Raden. Sungguh. Ia hanya turun 0,5 dari rata-rata semester lalu, tapi kenapa rasanya tetap takut saat ini.

Nakula melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan saat mengecek peringkat Sadewa. Setelah kedua orangtua mereka berpisah, tanggungjawab mereka mulai terbagi. Nakula yang bertanggungjawab dengan akademik saudaranya, Sadewa diperdapuran dan tentu saja si bungsu Raden hanya tinggal menikmati.

"Turun ya dek?"

Raden meneguk ludahnya kasar. Ia seketika mengingat perlakuan ayah mereka kala nilai seorang anaknya turun. Membayangkannya saja Raden tidak mampu.


"Sante aja dek, nanti kasih tau kakak aja materi yang belum adek paham. Biar kakak ajarin kamu."

Raden menghembuskan nafas lega, sepertinya ia harus mengingatkan dirinya bahwa sikap sang ayah tidak menurun pada kedua kakaknya.


"Mau makan bakso engga abis ini?" Ajak Sadewa.


"Lo traktir?"


"Idih ogah, yang dapet peringkat 1 siapa yang suruh traktir siapa."


"Ya udah gue engga mau, hari ini bunda mampir rumah, pasti bawa banyak makanan." Ucap Nakula


Kemarin sang bunda sempat mengabari Nakula memang kalau beliau akan mampir sebentar sebelum pergi ke Jepang selama 2 minggu.


3 tahun perpisahan kedua orangtua mereka agaknya memang sebuah pukulan besar bagi tiga satria Birendra. Dan dengan diskusi yang matang akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk menetap sendiri di rumah lama, menolak ajakan orangtua mereka untuk memilih salah satu dari ayah dan bunda.


Terkadang sang bunda datang untuk menginap saat kantor tempatnya bekerja sedang libur, hanya untuk memastikan ketiga putranya hidup dengan baik. Sebenarnya sang bunda sudah berupaya membujuk ketiganya untuk ikut tinggal bersama tapi tetap saja ketiganya menolak, katanya sudah nyaman dengan apa yang mereka jalankan sekarang.


"Bang, kakak ngelamun lagi."


Sadewa langsung mengalihkan atensinya begitu mendengar Raden mengatakan itu. Diantara mereka bertiga, Nakula yang mempunyai beban terberat. Menjadi anak sulung dengan title anak broken home memang suatu tanggungjawab yang besar.


"Kakak, engga baik loh ngelamun di malem Jum'at, coba Den Lo cek kalender, malem ini Jumat apa... Kali aja Jumat Kliwon. Kalo iya kita bawa kakak ke dukun."


Dan ucapan ngawur Sadewa berhasil membuat sang kakak kembali ke dunia nyata.

"Gila Lo!"

"Yeu... Bukannya makasih udah disadarin malah ngumpat."

"Kak!"


"Iya, kenapa Raden?"


Sadewa yang sebenarnya ingin mengumpat kala mendengar suara lembut Nakula pun urung kala melihat orang yang pernah membuat Nakula terbaring di rumah sakit kini ada dihadapannya.

"Untuk apa Anda disini?"




RAINBOW [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang