Part 14- Pahit

253 40 1
                                    

Dua orang remaja kini saling menatap, bedanya sang adik menatap kakaknya sendu sedangkan kakaknya menatap sang adik kosong.

Sadewa dengan bantuan kursi roda berusaha mendekati sang kakak. Begitu sampai di samping ranjang kakaknya ia langsung menggenggam tangan Nakula erat. Ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup dengan begitu kakaknya tidak merasa kesepian.


Bekas jahitan pasca operasi ginjal pun sudah mengering, kata ayahnya karena dia koma 2 minggu, jangan tanya dia kenapa bisa koma karena Sadewa juga sempat bingung kenapa ia bisa tidur selama 2 minggu padahal ia hanya terkena tusukan yang merusak satu ginjalnya yang untungnya lagi ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya. Keberuntungan sekali kalau kata sang ayah.



Sadewa merebahkan kepalanya di paha sang kakak. Ia menatap Nakula yang masih seperti hari kemarin, hanya menatap kosong sekitarnya.



"Kak, engga asik banget loh masa udah 3 hari gue bangun kakak masih seneng ngelamun. Sadar kak, gue masih hidup. Lo mah enak ngelamun khayalin ada Raden lah gue sama ayah nungguin Lo disini. Tau engga sih kak, ayah tuh semenjak gue sadar jadi sering nangis loh katanya gue itu engga boleh ngabisin jatah keburuntungan gue. Maksudnya apa coba?"


Sadewa menghela nafas lelah, capek juga ia melihat tatapan kosong dari wajah Nakula.


"Gue ceritain hal yang seru aja kali ya. Lo inget engga sih cewe yang Lo taksir? Itu loh anak kelas Lo yang kasih kado sepatu tapi Lo tolak karena Lo tau gue udah beli buat Lo."


"Dia sempet jenguk kakak loh, dia bilang mau pergi keluar kota buat lanjut kuliah."


"Kakak engga mau sembuh terus nyusul Gendis?"


Sadewa memainkan jari tangan Nakula, "Bukan maksudnya gue ngusir Lo pergi sih cuman Lo kan suka banget sama dia, Lo kalo cerita soal cewe itu bawaannya seneng. Tapi kalo Lo milih buat tinggal bareng gue sama ayah ya udah engga apa-apa. Kami malah seneng kalo kakak tinggal sama kami, nanti apartemen Bunda kakak sewain aja."


Sadewa kini menelungkupkan wajahnya, menyisipkan tangan Nakula ke pipinya yang tirus, "Lo... Lo kenapa engga bilang selama tinggal sama bunda Lo engga pernah tenang? Kenapa Lo engga pernah bilang ke gue ataupun Raden kalau Lo selalu dimarahin Bunda kalo nilai Lo jelek! Gue walaupun adek Lo tapi kita itu satu. Kita kembar Nakula! Buat apa gue ada kalo Lo aja berasa hidup sendiri!"


Isak tangis terdengar pilu, Sadewa berusaha menahan amarahnya. 3 tahun hidup terpisah dengan kakaknya nyatanya memang keputusan yang salah. Harusnya dulu dia memaksa Nakula untuk tinggal dengan mereka walaupun hak asuh Nakula ada ditangan Lili.


"Kak, maaf Dewa marahin kakak. Dewa dikhayalan kakak engga pernah marahin kakak ya? Atau Dewa dikhayalan kakak itu bertolakbelakang sama Sadewa yang nyata?" Sadewa menghapus air mata yang keluar dengan cepat.


Sadewa benar, apa yang ia ucapkan mengenai keadaan dalam khayalan Nakula bertolakbelakang dengan kehidupan nyatanya. Raden di dunia nyata adalah Raden yang manja pada kedua kakaknya, tak pandang bulu katanya selagi masih ada kakak sama Abang ngapain repot. Lalu Sadewa yang di dunia nyata adalah orang yang menyandang gelar master matematika dan orang pendiam yang jarang bergaul. Ayah yang penyayang dan.....



Bunda yang menjadi awal kehancuran satria Birendra.

Bunda yang selalu memaksa Sadewa untuk ikut bersamanya, bunda yang tidak pernah hadir dalam kehidupan Raden dan bunda yang selalu membandingkan Nakula dengan Sadewa.


Tapi setidaknya Nakula ingat kalau Sadewa adalah adik yang selalu ada disampingnya entah itu di kehidupan nyata maupun di khalayannya.


"Kak! Ah anjir Lo ngelamun kok bisa kentut!"

Dan setelahnya Sadewa trauma tiduran dipaha Nakula.

RAINBOW [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang