Part 4- Orang yang disebut Ayah

223 41 0
                                    

Ayah, satu kata yang kadang dirindukan saat sudah lama tidak berjumpa. Disebut kala sang bunda tidak dapat membantu. Disapa kala netra saling memandang.

Tapi ketiga satria Birendra terdiam saat orang yang menyandang sebutan ayah datang ke rumah mereka.


Kala itu hanya Nakula yang tersenyum dan menyapa sang ayah. Sadewa dan Raden tentu saja memprotes dengan apa yang dilakukan oleh sulung Birendra, tapi protesan itu hanya bisa terucap dari tatapan yang dibalas dengan senyum menenangkan Nakula yang seolah berkata, "Kasih kesempatan buat ayah."


Kini kelimanya termasuk bunda berkumpul di ruang makan, sang bunda tentu saja merealisasikan acara mampirnya sebelum berangkat ke Jepang. Dan tentunya beliau sempat terkejut kala melihat mantan suaminya datang mengunjungi ketiga putranya setelah 3 tahun hilang tanpa kabar.


"Ayah mau makan yang mana?" Tanya Nakula kepada sang ayah.



Baron, sang ayah hanya tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya, "Kamu makan aja."


Percakapan itu terpantau oleh Sadewa yang sedari tadi tidak suka dengan kehadiran ayahnya. Sekarang aja sikapnya baik sebentar lagi pasti sifat aslinya keluar.


"Pesawat bunda jam berapa?"


Atensi semua orang kini beralih ke sang bunda.


"Kamu mau pergi?" Tanya Baron datar.


Lili, sang bunda menatap Baron. "Iya, ke Jepang urusan kerjaan."


"Kamu sampai sekarang engga ada bedanya ya, selalu mentingin kerjaan."


Kan sudah Sadewa bilang, orang itu tidak akan berubah, sifat aslinya keluar tuh!


"Maksud kamu?"


"Ya kamu jadi ibu mereka harusnya tetap di rumah jangan pergi apalagi ke luar negeri ninggalin anak."


"Jadi maksud kamu, aku harus di rumah duduk santai sambil nungguin duit dateng dengan sendirinya?" Sejenak Lili tersenyum miris. Pemikiran Baron masih sama kalau perempuan memang semestinya ada rumah.


"Kamu kalo ke sini cuma buat ribut sama aku mending jangan ke rumah anak-anak. Kita bicara berdua tanpa anak-anak."


"Siapa juga yang mau bicara sama kamu. Ayah langsung to the point aja, males ngurusin ibu kalian yang susah diatur."


Sadewa mengepalkan tangannya, muak dengan sifat ayahnya.


"Sadewa, ayah dapet kabar dari sekolah katanya nilai kamu naik. Ayah mau kamu terus tingkatin nilai kamu jangan kaya adik kamu yang taunya cuma main..."


"Bisa engga, engga usah bandingin siapapun. Engga capek apa hidup cuma buat bandingin orang?"


"SADEWA! jangan karena nilai kamu naik terus jadi kasar sama ayah!"


Sadewa yang ingin membalas omongan ayahnya terdiam saat merasakan tangan Nakula mengelus punggungnya.


"Ayah, maafin Sadewa kalau Dewa kasar sama ayah."


"Nakula! Masuk kamar sekarang!"


Nakula menggelengkan kepalanya, "Maaf, Nakula engga bisa. Kalau Sadewa sama Raden masih disini Nakula bakal tetap disini."


Kali ini Nakula ingin menepati omongannya. Ia akan selalu menemani walau ia diminta pergi. Sudah cukup perlakuan ayahnya selama ini, kedua adiknya tidak boleh mendapatkan makian lagi.


"Sejak kapan kamu jadi pembangkang Nakula! Apa karena kamu tinggal sama mereka jadi kamu mau durhaka sama ayah?"


"Cukup! Pergi Baron! Anak aku bener dan kamu yang salah. Hak asuh anak-anak ada ditangan aku kalau kamu lupa jadi aku bakal nuntut kamu kalau kamu ganggu ketenangan mereka. Kali ini aku maafin kamu, tapi engga ada lain kali."


"Mereka tetap anak aku Lili! Aku berhak ngatur hidup mereka!"


"Mereka memang tetap anak kamu tapi kamu engga berhak bandingin mereka satu sama lain! Mereka punya perasaan apalagi mereka saudara. Nakula, Sadewa, sama Raden bukan mainan kamu!"


"Nakula! Kamu ikut ayah!"


Nakula bergeming, kenapa jadi dia yang disuruh ikut?


"Nakula!"


Nakula merasakan genggaman erat dari tangan Sadewa bahkan kini Raden memeluknya dari belakang seolah mencegah sang kakak ikut dengan ayahnya.


"Nakula, bawa adek-adek kamu ke kamar. Biar bunda yang ngeladenin ini manusia."

"Iya Bun."


"Nakula!"


Nakula tersenyum pada kedua adiknya. Ia menuntun mereka menuju kamarnya dan Sadewa, mengabaikan sang ayah yang berulangkali memanggil namanya.


"Kakak engga bakal ninggalin adek kan?" Tanya Raden begitu sampai di kamar kakaknya.


"Engga, tenang aja, kalo kakak nanti pergi nanti Abang kesepian."


Sadewa mendengus, "Cari kakak baru lah."


"Ngesok banget cari yang baru, masuk got aja manggilin gue mulu."


"Gue engga pernah masuk got anjir!"


"Kata siapa engga pernah! Gue ada fotonya, mau liat?"


"Raden mau liat!"


"Jangan kasih liat! Iya, oke, engga bakal cari kakak lain. Perkara gini aja ngancem."



"Cie pundung."


"Bodo amat deh kak!"


Sejenak keheningan menguasai kamar. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hingga akhirnya mereka sadar bahwa tidak ada lagi makian dari lantai bawah.


"Kita liburan yuk!"


Atensi Raden dan Nakula beralih ke Sadewa yang tersenyum tipis.


"Liburan yang jauh sampe lupa jalan pulang."


"Akhirat maksud Lo?"


"Anjir lah kak! Merinding gue nih."


"Ya Lo ngawur banget, kalo usul liburan itu yang jelas nyet!"


Sadewa mencebikkan bibirnya, kesal juga lama-lama kalau berdebat dengan kakak kembarnya.


"Bolang aja yuk kak, bang!" Usul Raden.


"Nah, Itu dia maksud gue bray! Kita Bolang,  misal ke Jogja 3 hari terus ke Solo 2 hari terus lanjut Semarang 1 hari sampe akhirnya duit abis dan kepaksa buat pulang ke rumah."


"Ya engga sampe duit abis juga Wa! Nanti kita makan apa coba?"


"Ya minta duit lah sama Bunda."


"Oh jadi Bunda cuma dijadiin ATM berjalan kamu Sadewa Birendra?"


Glek, Sadewa terdiam sedangkan kedua saudaranya menahan tawanya.


"Sadewa yang bilang Bund! Nakula sama Raden engga tau apa-apa."






Nakula sialan!

RAINBOW [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang