Part 11-Kecewa

225 40 0
                                    

Nakula menatap sosok yang tertidur di ranjang pasien. Seorang pria paruh baya yang selalu ia inginkan hadirnya. Ia tidak munafik menginginkan sosok penyayang ayahnya, terlebih bukan hanya untuknya tapi juga untuk kedua saudaranya.

Pintu terbuka menampakkan dua adik Nakula. Ia tersenyum menyambut mereka, dapat Nakula tangkap raut khawatir dari keduanya.

Nakula tahu mereka memang kecewa dengan perlakuan sang ayah yang memperlakukan mereka seperti boneka tetapi tetap saja rasa khawatir dengan keadaan sang ayah tetap ada. Mungkin akan ada hubungan mantan suami-istri tapi tidak ada hubungan mantan orangtua-anak kan?

"Gimana ayah, Kak?"

Sadewa duduk di sofa, tangannya menarik Raden agar duduk di sampingnya. Kalau tidak begitu pasti Raden akan tetap berdiri menatap ayah mereka yang tertidur entah karena obat bius atau memang belum sadar.

"Lagi tidur, tadi sempet sadar. Nanyain Raden juga."

"Tumben nanyain Raden." Sadewa tersenyum miring, biasanya kan ayahnya hanya menanyakan Nakula.

"Raden salah ya Kak, Bang?"

Kembar Birendra mengerutkan keningnya bingung, "Maksudnya?" Tanya Sadewa.

"Tadi ayah selamatin Raden, kalau aja Raden ngeliat kanan kiri pasti ayah engga bakal celaka."

"Iya Lo emang salah." Celetuk Sadewa.

"Dewa!"

Sadewa menatap Raden yang kini menunduk, selalu begini Raden akan selalu menundukkan kepalanya kala Sadewa mengeluarkan nada sinisnya. Rasa bersalah kini makin menumpuk di hati Raden, memang benar kata ayah Raden itu hanya beban buat kedua kakaknya.

"Makanya lain kali kalo jalan jangan nunduk, engga nyari duit jatuh juga kan kamunya?" Sadewa menghela nafas, ia mengelus puncak kepala Raden. 

"Dek, Abang sebenernya engga mau bersyukur sama kejadian ini tapi ngeliat ayah yang dorong kamu, gantiin posisi kamu.....

Itu tandanya ayah sayang kamu sampe rela dia yang luka."

Raden mengangkat wajahnya menatap Sadewa lalu memeluk si tengah Birendra erat.

"Abang lagi sakit ya Bang? Kok aneh sih. Abang yang kaya gini engga cocok."

"Sialan ini anak!"

Nakula terkekeh melihat interaksi kedua adiknya.

"Udah sarapan belum kalian?"

"Mana sempet sarapan, keburu adek Lo nangis kejer yang ada."

"Jadi Lo bukan adek gue Wa!"

"Seterahmu lah kanjeng Nakula, Lo yang selalu bener dan gue yang selalu salah. Cowo emang selalu salah ya!"

"Anjir! Gue juga cowo!"

"Lah siapa yang bilang Lo bukan cowo?"

"SADEWA!"

"NAKULA!"

"Ayo ribut! Raden suka keributan." Ucapan Raden sontak mengundang tawa kedua kakaknya. Raden menggelengkan kepalanya, ini dua orang abis ribut kok malah ketawa, engga ada yang normal kecuali Raden seorang emang.

"Gue ada tebak-tebakan. Ini khusus buat kakak."

Nakula mengangkat sebelah alisnya, ini Sadewa sedang kelaparan atau gimana? Dari tadi nyari ribut mulu.

"Orangtua kamu jual gas ya?"

Nakula menatap Sadewa malas, itu namanya bukan tebak-tebakan ya Sadewa Birendra. Nakula tak tau lagi dengan jalan pikiran orang yang lahir 3 menit setelahnya tapi tak urung ia tetap mencoba meladeni adiknya itu. Daripada nangis ya kan?

"Iya, kenapa?"

"Soalnya lo bacot mulu!"

"Anjir! Orangtua gue orangtua lo juga bangsat!"

Nakula menggulung lengan jaketnya, "Raden awas!"

Oh siaga satu.

Kesabaran Nakula sudah habis. Setelah Raden bangkit dari duduknya, Nakula  dengan cepat berjalan menuju Sadewa dan menggelitiki orang yang membuat emosinya naik.

"Kakak udah stop! Raden, Lo awas aja nanti! Adek durhaka Lo! Bantuin gue Raden!" Sadewa berusaha lepas dari cengkraman Nakula tapi percuma apalagi saat ternyata Raden mendekat bukan untuk membantu Sadewa tapi membantu sang kakak memegang kaki Sadewa agar si pembuat masalah itu tidak lari.

Pintu ruang rawat terbuka menampakkan wanita cantik yang membawa catatan pasien di tangannya.

"Maaf dek, jangan terlalu ribut ya! Suara kalian sampe ruangan sebelah." Ucapnya sambil tersenyum.

"Maaf sus, ini kakak Raden yang ribut. Raden engga ikutan. Nanti Raden nasehatin kalau ribut lagi. Emang Raden itu yang paling dewasa di sini."

"Anjir, cari muka ini anak." Umpat Nakula dan Sadewa dalam hati.

Suster itu tersenyum menanggapi ucapan Raden dan segera pamit begitu mengingatkan ketiga orang itu kalau mereka sedang berada di tempat umum.

"Kak, ini anak harus di apain ya?" Tanya Sadewa pada kembarannya.

"Kayaknya kasih tau bunda masalah adek yang jadi fuck boy enak nih."

Raden membulatkan matanya syok, "JANGAN KASIH TAU BUNDA!!!"

Tanpa mereka sadari sebenarnya sosok yang sedang berbaring mendengarkan percakapan ketiga putranya dari awal. Tak ada niatan dirinya untuk membuka mata, ia takut saat ia membuka mata dia tidak akan mampu mendengar canda tawa yang sangat manis terdengar di telinganya lagi.




"Nakula sudah cukup, Ayo pulang.."

RAINBOW [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang