Rumah yang ramai akan canda tawa, seorang pemuda remaja bernama lengkap Nakula Rainbow Birendra itu tersenyum lebar. Disana ia bisa melihat ada dirinya, Sadewa dan Raden yang saling meledek lalu ayah mereka yang baru pulang dari kantor ikut bergabung dengan mereka. Kali ini ia hanya memantau, terlalu lelah dengan merencanakan khayalan yang selalu berujung dengan Sadewa yang melindungi dirinya.
Ini kenangan Nakula saat berumur 12 tahun. Waktu itu benar-benar saat paling sempurna dalam ingatan sulung Birendra.
Ia masih mengamati, menunggu saat dimana Sadewa yang kala itu berkata,
"Pokoknya Sadewa bakal sama kakak terus. Sadewa engga butuh temen, Sadewa cuma butuh kakak. Makanya kakak jangan pergi."
Lalu Raden akan menimpali, "Adek engga dibutuhin Bang? Berarti kalo Adek pergi engga apa-apa?"
"Iya pergi aja sana, Abang cukup sama kakak aja. Kamu tenang aja biar kakak nanti sama Abang."
Tubuh Nakula membeku, bukan itu jawaban dari Sadewa. Ia ingat saat itu Sadewa akan memeluk Raden dan...
Dan....
Dan apa?
Nakula tidak ingat. Otaknya tiba-tiba tidak bisa memutar ingatan berisi kenangan indah itu.
Apa ini! Kenapa dia tidak bisa mengingat kenangan itu lagi padahal ini sudah kesekian kalinya ia mengulang kenangan ini. Harusnya ia hapal dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Nakula meremas rambutnya kuat, ia ingin melihat kenangan itu lagi di depan matanya. Kenapa tidak bisa?
"Kakak, Ini Raden."
Remasan itu terhenti, Nakula terdiam sejenak lalu ia berusaha mencari raga Raden yang ia rindukan tapi ia tidak bisa menemukan adik bungsunya. Sekitarnya pun gelap, sama seperti saat dimana momen perlombaan Raden.
"Jangan cari Raden, cukup dengerin Raden aja Kak!" -karena kalo Kakak cari Raden engga mungkin ketemu Kak, kita udah beda.
Nakula menurut karena ini pertama kalinya ia mendengar suara adik bungsunya dalam dunia khayalannya, suaranya nyata dari Raden bukan suara dari khayalannya semata.
"Kakak udah puas belum?"
"Kalau udah puas kakak pulang aja. Abang nungguin Kakak. Tiap hari Abang ngeluh ke adek biar adek nyamperin Kakak. Kakak kan pernah bilang kalo manusia itu punya waktunya sendiri. Kakak tau sendiri kalau waktu Raden udah abis. Kalau Kakak rindu sama Adek boleh jenguk Raden tapi jangan pake jalan ini. Kakak bisa dateng ke rumah baru Adek, doain Adek biar Adek dapet surga. Waktu Kakak masih banyak, jangan salahin diri Kakak. Adek pergi karena kesalahan Adek, Bunda pergi karena kesalahan Bunda kenapa bukan nurut Kakak buat pulang ke rumah tapi malah pergi buat kerja. Kalo Abang sih emang sok pahlawan dia, padahal dia bisa bela diri tapi kayaknya keberuntungan Abang banyak banget deh."
Nakula terkekeh, agaknya ia sedikit terhibur mendengarkan apa yang diucapkan Raden.
Kali ini dia yang berbicara, "Kalau Kakak pulang Adek jangan lupa sering mampir ke mimpi Kakak ya?"
Disana Raden tertawa, "Males lah kalau Kakak masih kaya gini."
"Kakak udah puas kok. Tapi Kakak engga tau cara pulang."
"Pulang tinggal pulang Kak, kasihan tuh Abang dari kemarin nangis terus. Heran deh tubuh keker tapi nangis kaya bayi tiap hari."
"Makasih Adek. Kakak pulang ya Dek. Kakak sayang sama Adek."
"Adek juga sayang sama Kakak. Jangan khayalin yang udah berlalu ya Kak. Jalanin apa yang sekarang buat masa depan."
.....
Terkadang ikhlas menjadi hal yang paling sulit jika itu menyangkut seseorang yang paling dicintai. Maka dari itu jangan paksakan seseorang untuk mengikhlaskan disaat ia masih terbayang akan sosok tercintanya. Memang akan butuh waktu yang lama, tapi itu lebih baik daripada berpura-pura ikhlas kan?
Nakula menempelkan jari telunjuknya seolah memerintahkan sang ayah untuk diam saat sang ayah akan berteriak karena terkejut. Ya siapa yang tidak terkejut saat melihat orang yang setiap hari menatap kosong itu kini tengah makan sambil baca novel?
Sepertinya anak-anak Baron memang tidak ada yang jelas. Dari Sadewa yang sebenarnya sudah bisa berlari malah meminta kursi roda lalu sekarang sulungnya yang mungkin bisa dikatakan baru sadar malah makan buah mangga muda. Tunggu darimana datangnya mangga muda?
"Kakak beneran udah engga apa-apa?" Tanya sang ayah lirih takut mengganggu tidur Sadewa.
Sambil memakan potongan terakhir buah mangga itu ia mengangguk lalu tersenyum menatap Sadewa yang tertidur dipelukannya.
"Mangga dari mana kak? Perasaan ayah engga pernah bawain mangga."
"Tuh, samping jendela ada pohon mangga."
Mata Baron membulat, "Kamu naik pohon mangga!" Teriakan Baron sontak membangunkan Sadewa.
"Ayah berisik banget, kenapa sih!"
Sadewa mengucek matanya lalu menguap. Sedetik kemudian ia tersedak air liurnya sendiri. Nakula sebagai kakak yang baik tentu saja dengan sigap mengambil air mineral di meja lalu menyerahkannya ke Sadewa yang masih terbatuk.
Sadewa yang malas memikirkan apapun langsung meminum air mineral itu. Setelah merasakan batuknya mereda Sadewa tanpa ragu langsung memukul kepala Nakula tentunya langsung dibalas Nakula dengan...
"AH! KAKAK KENAPA DIJEWER TELINGA SADEWA!" Teriak Sadewa kala merasakan jeweran di telinga kirinya. Sumpah baru kali ini Sadewa mendapatkan kekerasan dari kakaknya. Dulu mana berani Nakula kaya gini, Nakula mah sabar kalo sama Sadewa tapi kok sekarang jadi bar-bar.
"Ya Lo ngapain mukul kepala gue jingan!"
"Ya kan biar buktiin kalo ini bukan mimpi!"
Nakula menahan emosinya, sebenarnya engga sakit sih pukulannya tapi masa sih baru juga sadar langsung kena pukul aja, "Kenapa engga mukul kepala Lo sendiri sih nyet!"
"Ya sakitlah kalo mukul kepala sendiri!"
Alasan logis sih.
"Anak-anak inget ini belum ada satu jam kalian ngobrol lagi loh. Ini kalian beneran mau ribut?"
"Sadewa tuh yah!"
"Kakak nih jewer telinga Dewa!"
"Salah siapa pukul kepala gue!"
Baron memijat pelipisnya, pusing melihat perilaku random kedua anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBOW [END]
FanfictionGimana kalo sekeluarga isinya orang GAJE semua? "Orangtua kamu jual gas ya?" Nakula menatap Sadewa malas, tapi tetap mencoba meladeni adiknya "iya, kenapa?" "Soalnya lo bacot mulu!" "Anjir! Orangtua gue orangtua lo juga bangsat!" ...