Part 9- Hari terburuk

223 39 0
                                    

"Sadewa, Bangun Lo! Udah mau jam 7, katanya mau ikut jogging!"

"5 menit lagi Kak." Gumam Sadewa tanpa membuka kedua matanya.


"Males lah nungguin Lo daritadi 5 menit mulu, gue tinggal aja ya! Jaga rumah, nanti bukain pintu buat Bunda."

Nakula mendengus, percuma ia mewanti orang yang sudah kembali ke dunia mimpi. Kalau dipikir-pikir ya bodoh juga dia mengharapkan Sadewa bangun pagi di hari Minggu. Akhirnya ia memutuskan keluar dari kamar meninggalkan Sadewa yang ia harap akan terbangun lalu menyusul mereka kalau memang berniat ikut jogging.

Kaki Nakula berjalan menghampiri Raden yang sedari tadi menunggu kedua kakaknya di ruang tamu, niatnya emang ikut jogging sekalian menjaga sang Kakak yang sok kuat keliling lapangan padahal lari bentar aja langsung bengek alias asmanya kambuh.


"Bang Dewa mana kak?" Tanya Raden.

"Masih tidur."

"Engga heran sih, ini kita jadinya nungguin bang Dewa atau gimana kak?" Ujar si bungsu Birendra.

"Langsung ke lapangan aja yuk! Nanti pulangnya beliin bubur buat Abang."

Dan jadilah Sadewa ditinggal oleh kedua saudaranya. Tenang, Sadewa tidak akan marah kan dia sendiri yang memutuskan tidur padahal Nakula sudah berbaik hati membangunkan.

Dua jam berlalu akhirnya Sadewa terbangun dari tidurnya. Ia meneliti sekeliling kamarnya yang masih sepi. Sadewa menduga kalau saudaranya itu mampir membeli bubur ayam kesukaannya. Pasti ngantre banyak mengingat bubur kesukaannya itu sangat banyak peminatnya.

"Loh bunda udah dateng?" Tanyanya saat melihat siluet sang bunda di dapur.

"Udah daritadi, kamu pasti begadang lagi ya Bang? Bunda tadi nengok ke kamar kamu lagi enak banget tidurnya."

Sadewa mengusap tengkuknya yang tidak terasa gatal, ya memang benar tadi malam ia begadang sampai subuh. Ngapain aja? Ya game lah. Sadewa lagi kecanduan game mobile seperti anak remaja pada umumnya.


Jangan tanyakan Nakula apakah dia ikut begadang atau tidak. Nakula itu punya jam tidur yang tidak akan ia langgar kecuali kalau ada hal yang mendesak. Dan Sadewa ingatkan lagi Nakula itu bukan tipe remaja seperti pada umumnya.

"Jangan begadang terus ya! Engga baik buat kesehatan." Nasehat Bunda.

"Iya Bun."

Lili menghela nafas karena pasti Sadewa hanya mengiyakan nasehatnya sekarang dan akan melaksanakan rutinitas begadangnya.

"Kamu mau sarapan sekarang Bang?"

"Sadewa sarapan nanti Bund, kayaknya Kakak sama Raden lagi beliin Abang bubur deh."

Bunda mengernyitkan dahinya tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh anak tengahnya, "Makan dulu aja ya, nungguin mereka lama deh kayaknya. Perut kamu sakit nanti."

"Tunggu mereka aja Bund." kekeh Sadewa.

"Bang!"

"Bunda kenapa sih! Bilang aja mau ngomong sesuatu. Abang kan udah bilang, kalau bunda mau ngomong itu langsung aja." Sadewa menatap sang Bunda intens.

"Bukan begitu bang, tapi ini kan udah jam 9, perut kamu masih kosong."

"Sadewa tetap nungguin Kakak sama Raden. Kasian pasti mereka udah ngantre lama."

"Ya nanti kamu makan lagi aja itu buburnya." Ucap Bunda santai.

Sadewa membulatkan matanya, "Perut Dewa bukan gentong ya Bund, tolong kanjeng Bunda jangan memaksakan kehendak Ananda. Memaksakan kehendak orang itu engga baik loh Bund, kasian nanti."

Bunda terkekeh, "Ya udah, Bunda udah siapin makanan nanti Abang panasin aja ya kalau udah engga tahan buat makan."

"Loh bunda engga ikut makan?"

Lili mengusak rambut coklat Sadewa, "Bunda ada acara bentar lagi. Kamu baik-baik ya di rumah."

"Bund!" Panggilan Sadewa sukses membuat langkah Lili terhenti,

"Iya Bang, kenapa?"

Mulut Sadewa yang awalnya ingin mengucapkan sebuah permintaan terkatup saat mendengar dering telfon dari ponsel sang Bunda.

"Engga jadi deh Bund, Bunda kayaknya sibuk banget."

"Kalau penting nanti bilang ya Bang! Bunda pergi dulu."

Sadewa menatap kosong pintu yang menghilangkan sosok Bunda. Niatnya sebenarnya mau bilang besok Senin Raden ada lomba dan Sadewa berharap dengan adanya kehadiran Bunda akan membuat Raden tambah semangat tapi lagi-lagi ia tertampar dengan kenyataan.

Sadewa menghela nafas, Bunda itu tidak beda jauh dengan ayah. Kalau ayah jahatnya terlihat beda lagi dengan Bunda yang jahatnya menghanyutkan, sibuk dengan pekerjaan. Ya iyasih beliau sibuk kerja juga buat kasih makan anaknya tapi sebut saja Sadewa egois, ia hanya ingin berada disituasi normal.

Siapa sih anak yang ingin hidup diantara situasi seperti ini?

Sepertinya tidak ada.


Kadang ia ingin merasakan hidup diantara keluarga yang harmonis tapi sepertinya tidak akan bisa mengingat dari kecil keluarganya jauh dari kata harmonis. Untung saja ia mempunyai Nakula dan Raden. Khususnya Nakula sih yang jadi pegangan dia selama ini, Raden mah bagian bebannya saja.

"Kok mereka lama bener, udah mau siang padahal."


Baru saja Sadewa berniat menyusul mereka ke lapangan suara seseorang yang ia sayangi terdengar.


"Bang."

Sadewa berbalik dan langsung dikejutkan dengan Raden yang menahan tangisnya.

"Dek, Lo kenapa? Kakak mana?"

Sadewa mencari atensi kakaknya dibalik badan Raden, sedangkan Raden tidak mampu menjawab pertanyaan dari kakak keduanya. Ia menghamburkan badannya, memeluk Sadewa yang kini mematung.


"Dek...."


"Ayah...."

RAINBOW [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang