Katanya hidup jadi bungsu itu enak. Emang iya, kalo jadi Raden sih emang enak. Kelewat enak malah. Coba kita review sebentar,
Si Bunda selalu memberikan uang saku berlebih bahkan tanpa diketahui sang kakak dan Abang, si kakak yang akan membantunya belajar dan menjadi tempatnya curhat, dan tentunya yang terakhir ada Sadewa selaku koki rumah yang akan membuatkan makanan yang ia inginkan bahkan rela pergi ke pasar jika sekiranya lauk yang diinginkan Raden tidak ada di kulkas.
Raden tentunya sangat bersyukur. Hidupnya aman damai, apalagi setelah kedua orangtuanya bercerai. Bukan maksud menjelekkan kedua orangtuanya, tapi setidaknya ia merasa lega.
Masalah kemarin saat ayah mereka datang jelas membuat mental ketiganya terguncang lagi. Raden tau kedua kakaknya menyembunyikan perasaan mereka dan Raden yang notabenenya senang bercerita mendadak ragu untuk bercerita pada mereka.
Kepulan asap keluar dari mulutnya. Ia butuh pelampiasan, jelasnya. Merokok adalah jalan yang ia pilih. Walaupun sebenarnya ia takut kalau sampai ketahuan kakaknya atau lebih tepatnya ketauan Sadewa.
Ia hanya sesekali melampiaskan kegelisahannya dengan merokok. Ingin berhenti tapi sepertinya masalah selalu datang.
"Sejak kapan kamu ngerokok?"
"Kakak."
Tubuh Raden sontak terasa kaku. Mati dia, sebentar lagi pasti ia akan dimarahi. Baru aja dia membayangkan bagaimana jadinya kalau dia ketauan eh malah kejadian.
"Minta dong."
Raden membulatkan matanya. Tapi bukannya memberikan sebatang rokok pada Nakula, ia malah membuang semua rokoknya ke dalam tempat sampah.
"Kok dibuang? sayang loh duitnya." Ucap Nakula lembut tapi begitu tajam dan menusuk bagi Raden.
"Kakak ada asma." Jawab Raden sambil menunduk, ia tidak berani menatap kakaknya. Rasa bersalah kini mulai menguasainya. Bahkan rasanya ia ingin menangis saat ini juga.
"Aneh ya?" Nakula menatap sekeliling atap sekolah lalu menghirup oksigen dengan dalam.
"Kamu tau kakak punya asma, kamu yang bilang ke kakak buat jaga diri, kamu yang suruh kakak buat engga ninggalin kamu tapi nyatanya kamu malah bikin penyakit."
Raden semakin merasa bersalah, mungkin ia lebih memilih kena pukul Sadewa daripada mendengarkan Nakula berbicara dengan suara puraunya.
"Kak, maaf."
Nakula tersenyum lalu merangkul adik bungsunya yang langsung dibalas dengan rangkulan erat oleh Raden.
"Kalau kamu ada masalah bicara sama kakak. Jangan lari apalagi cari pelampiasan. Raden itu adiknya Nakula sama Sadewa, kan? Kalau kakak sama Sadewa bisa berarti adek boleh minta tolong sama kakak atau engga sama Abang."
"Kak, maafin Raden. Janji deh engga bakal kaya gini lagi, ini yang terakhir."
"Kakak percaya kok, Raden juga harus percaya sama kakak ya!"
"Iya kak, Raden percaya sama kakak."
Nakula melepaskan pelukannya lalu tersenyum, "Kalau percaya berarti udah siap dong cerita masalah yang bikin kamu butuh pelarian?"
Sial, Raden terjebak.
Mau tak mau akhirnya Raden harus menceritakan apa yang mengganggu pikirannya.
"Masalah ayah, pasti ayah bakal balik lagi terus minta kakak buat ikut ayah. Raden bingung apa yang harus adek lakuin biar kakak bisa terus sama Raden. Raden engga mau kakak ikut ayah. Ini serius kak, ayah itu bahaya."
Nakula terkekeh geli, "Adek engga perlu lakuin apapun kok. Kakak engga bakal pergi. Kenapa kamu jadi melankolis kaya gini sih, Dek? Biasanya juga santai aja bawaannya."
"Gimana mau santai kalo salahsatu kakak Raden mau diambil." Gumam Raden lirih.
"Santai aja dek, kakak usahain bakal terus sama adek."
"Kak, jangan kasih tau Abang ya kalo adek abis ngerokok." Pinta Raden
"Kalo takut ketauan Abang terus kenapa berani ngerokok?"
"Ya kan sembunyi-sembunyi, ini aja lagi apes ketauan kakak."
"Oh jadi kalo engga ketauan ya bakal lanjut nih?" Goda Nakula, ia terkekeh melihat ekspresi salah tingkah Raden. Raden itu polos, saking polosnya sampe harus dituntun pelan-pelan.
"Ih engga gitu kak, niatnya cuma ngabisin satu bungkus terus abis itu berenti, tapi malah ketauan kakak ya udah berenti sebelum jadwal."
Nakula mengelus surai hitam Raden, "Kamu nih ya, kadang kakak pengin masukin kamu ke got saking ngeselinnya."
"Jangan dong kak! Raden engga mau kaya bang Sadewa, malu nanti Raden."
"Apa nih bawa-bawa gue? Kalian dicariin ternyata malah lagi gibahin gue."
Sadewa menangkap ekspresi tegang Raden, sangat berbeda dengan Nakula yang masih menampilkan muka lempengnya.
Hidung tajamnya seketika mencium bau yang selama ini ia benci begitu ia mendekati keduanya. "Lo ngerokok Den?"
Raden membulatkan matanya, kok Sadewa bisa tau padahal rokoknya sudah ia buang semua.
"Udah Wa! Raden udah gue bilangin kok, katanya ini yang terakhir."
"Lo ngerokok dan ketauan sama kakak? Kalo Lo mau ngerokok bisa kan yang jauh dari kakak! Ini juga masih di sekolah! Lo mikir deh Den, udah kelas 1 SMA harusnya Lo makin ngerti mana yang bener sama engga!"
"Dewa!"
"Beruntung yang nemuin Lo itu kakak coba kalo guru atau engga siswa yang cepu, terus ayah denger masalah Lo yang ngerokok, bisa bayangin apa yang setelah itu bakal ayah lakuin kan?"
"Sadewa! Udah. Raden udah ngerti kok, dia juga udah minta maaf."
"Ini nih yang bikin Raden seenaknya! Kakak selalu belain Raden kalo Raden bikin salah. Sekali aja kak, marahin dia biar dia kapok."
"Maaf bang, Raden minta maaf. Raden engga mikir lebih jauh resikonya. Jangan marahin Raden lagi, jangan marahin kakak juga."
Sadewa yang awalnya ingin mengumpat pun akhirnya luluh begitu menyadari sedari tadi Raden tidak berani menatapnya. Ia berdecak sebal, lalu menatap sang kakak yang menatapnya memelas.
Ini kenapa kaya jadi Sadewa yang salah sih!
Sadewa menghela nafas, "Jangan ada lain kali!"
Raden mengangkat wajahnya, terlihat raut berbinar muncul. Segera ia memeluk Sadewa dengar erat sampai terdengar suara rintihan dari orang yang dipeluk.
"Makasih kak! Adek janji engga ada lain kali. Sayang kakak."
Sadewa melepaskan pelukan Raden dengan paksa, "Kok kakak?"
"Salah Abang tadi marahin Raden."
"Loh kakak juga marahin Lo tadi kan Dek."
"Ya iya sih. Tapi tetep aja Raden cuma sayang kakak."
Terserahmu lah Raden.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBOW [END]
Hayran KurguGimana kalo sekeluarga isinya orang GAJE semua? "Orangtua kamu jual gas ya?" Nakula menatap Sadewa malas, tapi tetap mencoba meladeni adiknya "iya, kenapa?" "Soalnya lo bacot mulu!" "Anjir! Orangtua gue orangtua lo juga bangsat!" ...