Part 7- Ambis

200 39 0
                                    

Di sekolah Darwana ada 3 penilaian yang menentukan dimana kelas para siswanya berada. Akademik, seni dan olahraga. Penilaian ini dilihat dari nilai UAS para siswanya, jadi kalau ada yang bilang nilai tidak menentukan masa depan maka dengan cepat akan dibantah oleh Sadewa. Nyatanya setelah peringkatnya naik ia langsung berada di kelas D padahal awalnya ia berada di kelas J, kelas terakhir. Itu termasuk nilai mempengaruhi masa depan kan?


Nakula?


Hey! Dia kan peringkat 1, tentu saja di kelas A. Otak encer Nakula Birendra jelasnya selalu membantu si sulung itu berada dalam kaum kelas elit.


Sadewa mah sadar diri, ia yang awalnya berasal dari kelas terakhir bisa loncat ke D aja udah kaya keajaiban dunia.



Iri sama Nakula? Engga dong. Sadewa sadar kok kemampuannya emang segitu, kalo dipaksa yang ada kemebul otaknya. Sadewa juga sadar kalau setiap anak punya kelebihan masing-masing seperti Nakula di bidang akademik, Raden di bidang seni dan dia di bidang olahraga. Lalu buat apa ia iri?


Iri hanya rasa yang salah diwaktu yang salah. Oh harusnya Sadewa mengatakan hal itu pada Nakula yang iri karena adiknya mempunyai banyak teman.


Berbeda dengan kelas D yang masih bisa melakukan kegiatan dengan canda tawa, di kelas A kalian hanya akan melihat keadaan yang tenang tapi berfaedah. Kegiatan siswa kelas A tidak jauh dari membaca buku, me-review materi bahkan ada yang terkadang mereka mengerjakan soal di tengah jam istirahat. Sungguh ambis nilai kalau kata Sadewa.


Dan itu terjadi pada kembaran Sadewa sendiri.



Coretan angka bertambah setiap Nakula mengerjakan soal yang baru. Perut yang sudah lama meronta bahkan ia abaikan, katanya nanggung saat ia diajak oleh teman sekelasnya untuk makan siang di kantin.


"Sadis amat Lo kak!"


Seperti biasa Sadewa akan menghampiri Nakula di jam istirahat, ia dengan jelas mengingat kebiasaan kembarannya yang lebih memilih belajar daripada makan. Padahal kan makan juga buat hidup, kalo engga hidup gimana mau belajar?



"Dewa bawain nasi goreng nih kak."


Sadewa menghela nafas ketika kakaknya tetap mengerjakan soal sialan itu. Akhirnya dengan kasar ia menutup buku kumpulan soal itu lalu menata makan siang kakaknya.


"Wa! Kakak kurang 5 soal lagi!" Seru Nakula tidak terima.


"Makan dulu! 5 soal engga bikin Lo mati. Lo kalo mau nyiksa diri engga usah ninggalin makan dong, ikut gue aja latihan karate nanti biar Lo bisa digebukin sama gue."



Nakula bergidik ngeri, pasalnya ia sudah pernah merasakan sakit di hari pertama ia ikut Sadewa latihan karate. Salahnya Nakula sih yang jarang berolahraga, sekalinya olahraga ya badannya sakit semua.


"Ck, iya gue makan."


"Nah gitu dong. Untung tadi Jeka nemuin gue di kantin, coba kalo engga ya engga bakal makan kan Lo!"


"Cerewet banget sih! Ini gue lagi makan loh." Rutuk Nakula yang mengunyah makanannya dengan cepat.


Sejenak tidak ada percakapan diantara mereka. Sadewa yang sibuk bermain ponsel dan Nakula yang makan seperti dikejar setan.


"Lo emang beneran engga punya temen ya kak?"


Nakula mengangguk tanpa menghentikan kunyahannya. Lapar soalnya dia.


"Kenapa engga punya? Jeka lah minimal, dia kan sering ngajak Lo ke kantin, masa engga dianggap temen sih kak."


Nakula dengan susah payah menelan makanannya, "Seret ada minum engga?"


"Ada tapi jawab dulu!"


"Gue seret ini anjir, buru! Nanti dijawab kok."


Karena kasihan akhirnya Sadewa memberikan air yang tadi juga ia beli di kantin.


Nakula meminum air yang diberikan Sadewa, ia merasa begitu lega begitu air itu masuk ke dalam tenggorokannya.


"Udah kan? Sekarang jawab!"


Nakula memutar bola matanya, kenapa segitu ngebetnya Sadewa mendengar jawabannya.


"Ya gue ngerasa buat apa punya temen."


"Ya kalo ada masalah bisa minta bantuan lah."


"Itu namanya manfaatin orang."


"Maksudnya saling bantu kak!"


"Ya kalo inget, kalo engga? Gue sih cukup punya Lo sama Raden. Kalo ada kalian gue rasa dunia berpihak sama gue."


"Gue sama Raden engga mungkin bisa sama Lo terus kak, maksud gue nanti kalo kita udah punya prioritas masing-masing."



Nakula terdiam, ia menatap Sadewa dalam. "Makanya jangan jauh-jauh dari kakak. Walaupun udah punya prioritas, kalian juga harus sering datengin kakak."


"Kak...."


Belum sempat Sadewa menyelesaikan omongannya, bel masuk berbunyi yang mengharuskan kembali ke kelasnya.


"Nanti pulang sekolah bareng kak!"


"Oke!"


Sepeninggalan Sadewa, remaja dengan kacamata yang bertengger manis itu segera menyiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya.


"Nakula! Hidung Lo."


Nakula menatap kosong buku matematika yang terkena tetesan darah.


Ah dia mimisan lagi.



!!!!


Pulangnya Nakula menunggu sosok yang meminta pulang bersama. Ia mendengus sebal. Bel pulang sudah berbunyi 30 menit yang lalu tapi batang hidung Sadewa belum juga terlihat. Bahkan kini Raden pun ikut menunggu sang Abang kala melihat kakaknya berteduh dibawah pohon.

"Kakak beneran janjian kan Kak sama Abang?"

"Iya beneran dek, tapi Abang yang minta bareng."

Tidak tau saja mereka bahwa orang yang mereka tunggu sedang tertidur di kamar dengan AC yang menyala.



!!!

RAINBOW [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang