Part 12- Gelap

242 41 0
                                    

Akhirnya hari yang ditunggu Raden datang. Di backstage dia sekarang, menunggu namanya dipanggil sebagai pemegang juara pertama.

Ah iya, hubungan satria dengan ayah mereka agaknya mulai membaik pasca kecelakaan itu. Raden yang merasa bersalah akhirnya menuruti segala perintah sang ayah tanpa paksaan. Tentunya Sadewa menentang hal itu, tapi Raden dengan segala tingkahnya tentu berhasil membujuk sang Abang.

"Selamat! Lagi-lagi Lo juara satu."

Raden menengok, "Lo juga selamat, lagi-lagi dapet juara dua."

Seon, yang mendapat juara kedua tersenyum miris. Terhitung sudah empat kali mereka bertemu di cabang lomba yang sama tapi sepertinya takdir selalu membuat Raden selalu menjadi yang pertama.

"Lo engga mau nyoba cabang lain apa?"

"Pertanyaan yang sama Seon, Lo engga mau nyoba cabang lain apa? Daripada Lo kalah terus dari gue mending Lo cari cabang lain."

"Engga ada rencana gue pindah cabang."

"Kalo gitu Lo harus usaha lebih keras lagi karena gue juga engga ada niatan pindah cabang."

"Pemenang lomba ayo naik panggung!"

Tanpa percakapan lagi, Raden dan Seon beranjak naik ke atas podium. Sejenak Raden mencari siluet kedua kakaknya yang katanya akan datang setelah berhasil mengantongi izin dari sekolah padahal Raden mengusulkan untuk bolos sekolah tapi usulan itu langsung di bantah mentah-mentah oleh Nakula.

"Selamat ya, empat kali jadi juara pertama."

Raden mengambil hadiahnya dan berjabat tangan dengan pak walikota yang hadir sebagai tamu undangan.

"Terimakasih, pak!" Jawabnya sambil tersenyum lebar.

Tapi senyumnya seketika luntur kala matanya tanpa sengaja menangkap banner bertuliskan,

RADEN, I LOVE YOU!
BIRENDRA SWAG!!!

Dan jelas ia tau siapa pelaku dari banner yang kini menjadi perhatian hampir seluruh orang di auditorium.

"Oh kali ini banner, heran gue sama otak Abang Lo yang engga pernah kehabisan akal. Tahun kemarin apa ya?..." Sejenak Seon berpikir mengingat apa yang tahun lalu ia lihat.

"Kaos Birendra swag?" Ungkap Raden yang diselingi dengan kekehan, malu sih tapi ia tidak mau menghentikan tingkah abangnya yang sebenarnya sudah ia kira.

"Lo beruntung punya Abang kaya dia."

"Ya gue emang manusia paling beruntung, setidaknya perut gue engga pernah kelaperan selagi ada Abang."

Disana, di bangku pojok. Nakula dan Sadewa duduk di kursi sambil memegang banner itu. Baron ada di samping Nakula dengan kursi rodanya matanya menatap Raden datar. Si bungsu segera menunduk, apalagi kalau bukan untuk menghindari tatapan sang ayah.

Setelah ucapan terimakasih akhirnya Raden dipersilakan untuk turun dari podium. Berbekal piala di tangannya ia berjalan mendekati dua orang tersayangnya. Langkahnya terhenti ketika melihat keanehan dari sekitarnya.

"Jangan sekarang. Tolong. Adek masih pengin sama kakak." Jeritnya dalam hati.

"Kakak, awas!" Teriak Raden yang kini berlari sekuat tenaga.

Tubuh Nakula membeku kala tubuh Sadewa memeluknya erat. Tangannya bergerak pelan saat merasakan cairan merah. Ia menatap Sadewa yang juga menatapnya dengan kristal bening di matanya. Sadewa tersenyum, senyum yang entah kenapa membuat air mata Nakula turun dari sungainya.

Orang berpakaian serba hitam itu dengan cepat melepas pisau yang menancap di tubuh Sadewa. Darah Sadewa kembali mengalir dengan deras saat pisau itu berhasil tercabut.

"Kakak, terimakasih."

Perlahan auditorium yang ramai berubah menjadi lapangan sekolah. Kilasan ingatan datang dengan cepat seolah memaksa masuk ke dalam otak sulung Birendra.

"Nakula ayo pulang."

Nakula menatap sekelilingnya, tidak ada Sadewa yang menatapnya sendu dan tidak ada Raden yang berlari ke arahnya.

Gelap.

Sulung Birendra itu merasakan kehampaan, ia ingin pergi ke tempat kedua adiknya berada. Disini sepi. Disini tidak ada yang bisa ia marahi. Tidak ada yang bisa ia peluk. Tidak ada yang bisa menjahili dirinya.

Air mata kembali menetes, "Sadewa, Raden kalian dimana?"



"Kakak, ayo pulang!"

"Kakak engga pengin sembuh ya? Ini Sadewa udah bangun loh!"

Nakula terdiam, ia menunggu suara Sadewa lagi.

"Kakak jelek tau kalau kaya gini. Kata ayah kakak udah 2 minggu ya ngelamunnya? Dewa engga mau bilang kakak kena depresi, kakaknya Dewa kan lagi berkhayal lagi sama adek kan? Pasti di sana kakak lagi bahagia kan? Tapi bahagia di sana jangan lama-lama ya kak! Adek sama Bunda disini juga pengin dijenguk sama kakak. Kak,.....

Dewa cuma punya Kakak sekarang, Kak ayo pulang temenin Dewa!"

RAINBOW [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang