17. Have Fun

861 112 82
                                    


Sagara menahan bahu Kai saat cowok itu baru saja akan keluar kelas, sedetik kemudian tubuh Kai terbanting ke papan tulis dengan suara dentuman kencang. Sagara yang biasa terkenal tidak pernah serius dan paling menghormati Kai kini justru bergerak memberi tinjuan mau ke pipi kiri Kai.

Kai yang tadinya terkejut kini mulai bisa menguasai diri, ia balas menendang perut. Sagara hingga temannya itu menubruk meja-meja di belakang sana.

"Maksud Lo apa, njing?! Jangan karena Lo teman gue, gue ragu bunuh Lo." Kai menyeka sudut bibirnya yang ternyata mengeluarkan darah segar.

Sagara mendengus, tertawa remeh akan tingkah Kai, "Lo pikir gue takut? Mimpi! Selama Lo salah, gue benerin, meskipun nyawa gue bayarannya."

Kai maju, mengulurkan tangan lalu menekan leher Sagara hingga cowok itu kesusahan bernafas karena pasokan yang masuk di tenggorokannya begitu tipis.

"Punya masalah apa Lo sama gue?" Dengan sedikit penutup yang manis, Kai menendang tulang kering Sagara hingga terdengar bunyi tulang. Tiga pukulan yang Sagara berikan dibalas dua kali lipat oleh Kai, bahkan nyaris membuatnya Sagara pingsan karena kesusahan bernafas.

Kai bersender di papan tulis, bersedekap dada dengan alis terangkat sebelah. Sagara duduk dengan kedua lutut ditekuk ia Merapi sebanyak-banyaknya oksigen.

"Mikirlah asu, gue belum nikah, belum iya-iya sama si Carla. Lo udah mau bunuh gue? Sialan emang, iya kalau kuburan gue diurus, kalau nanti nasib gue sama kayak korban-korban Lo yang lainnya bisa-bisa jasad gue jadi makanan anjing Lo." Setelah puas meluapkan keluh kesahnya ia mengomel tidak jelas, mengusap lehernya yang masih terasa kebas, tadi hanya satu menit lebih. Bagaimana jika Kai mencekiknya lama? Tinggal nama kali dia.

"Kalau Lo lupa, Lo yang nyerahin nyawa Lo sendiri beberapa saat lalu," ujar Kai santai. Mengedikkan bahu tidak perduli, lalu membuka ponsel.

"Oke skip, gue mau nanya serius sama Lo." Sagara duduk tegap, menatap Kai serius.  Membuat orang yang ditatapnya mendengus geli, "Kenapa Vee sampai mikir kalau Alura sama Alana mirip?"

Kai mengerutkan dahi tidak mengerti,  "Maksud Lo?"

"Lo tahu sendiri, Vee adalah orang terkuat yang pernah kita temui. Tapi ... Nggak sekalipun dia pernah ngeluh atau bahkan nangis. Ya walaupun sedikit sinting, sih."

"Terus yang gue lihat tadi, dia nggak kayak biasanya, nangis histeris terus bilang kalau Alura sama Alana itu mirip."

Kai diam, memikirkan dengan baik kalimat Sagara. Ia baru sadar, jika bersama Alura dirinya nyaris tidak pernah lepas dari bayangan Alana. Semuanya terasa abu-abu.

"Perasaan Vee doang mungkin, Alura sama Alana nggak mirip." Sangkalan Kai mengundang kekehan sinis Sagara.

"Orang yang pernah lihat Alana pasti mikir kalau Alura itu duplikatnya," ujar Sagara santai. Ia bangkit, mengibaskan tangannya yang kotor karena debu dari lantai.

"Kelakuan Lo boleh brengsek, tapi ingat Lo masuk ke dalam kehidupan Vee jadi lentera bagi cewek itu. Kalau emang Lo dari awal main-main tinggalin, karena kalau kedepannya Lo makin nggak terkendali. Efeknya cuman ada dua pilihan, yaitu orang yang Lo sayang hancur, atau Lo hancur karena penyesalan Lo ke Vee."

Saat Sagara membuka pintu, Valerie berdiri tegap di depannya, wajah cewek itu memerah. Satu detik kemudian, tangan kanan Valerie terangkat menampar pipi Sagara hingga suaranya berbunyi di dalam kelas.

Kai bungkam dengan kedua tangan terbenam di dalam saku celana, menatap intens semua tindakan yang pacarnya itu lakukan.

"Pembohong dan suka ikut campur! Itu sifat Lo ya? Demi Tuhan, gue nggak butuh manusia kayak Lo di dekat gue. Gue nggak suka dikasihani dan berhenti ikut campur urusan gue. Lo nggak tahu apa-apa bajingan. Dan berani banget Lo mukulin pacar gue, punya nyawa berapa Lo?" Valerie mendorong-dorong bahu Sagara. Menatap tajam cowok berperawakan tinggi itu.

"Gue cuman belain Lo, Vee. Gue cari keadilan buat Lo!"

"Nggak butuh bangsat. Gue nggak butuh," ujar Valerie lalu kembali memberikan Sagara pukulan.

"Vee." Suara serak basah Kai terdengar rendah, menghentikan aksi bar-bar Valerie yang jarang orang ketahui. "Sini!" Seperti kucing penurut ia berjalan mendekati Kai.

"Keluar Lo sana," usir Kai secara terang-terangan. Sagara mendengus, ia keluar dengan hati dongkol.

"Kenapa?" tanya Kai seperti biasa.

Valerie membiarkan dirinya menjatuhkan kepalanya di bahu kiri Kai, "Aku capek."

"Malam ini tidur di apartemen gue aja kalau Lo nggak mau ketemu orang tua Lo."

Valerie diam-diam bersyukur dalam hati, memanjatkan syukur pada Tuhan walaupun ia seorang pendosa yang mungkin saja tidak termaafkan.

"Kamu tahu Kai kenapa aku bertahan di sisi kamu padahal kamu udah jahat banget sama aku?" Kai diam menunggu kalimat selanjutnya dari Valerie. "Karena perhatian ini. Karena cuma kamu yang tahu keadaan aku sebenarnya."


÷÷÷÷÷

Entah keputusan yang benar atau tidak saat ia melangkah membawa kedua kakinya menjauhi gerbang, niat Alura tentu untuk menghindari Kai. Tadi Sierra sudah menawarkan dirinya pulang bersama, karena kelihatan cemas saat setengah jam berlalu tapi jemputan Alura tidak kunjung datang.

Namun, bukan Alura namanya jika tidak bisa membujuk Sierra meninggalkannya sendiri di parkiran sekolah. Untuk berhutang budi bukan Alura ahlinya. Sebisa mungkin dan semampu mungkin ia akan berusaha tidak merepotkan siapapun agar didalam dirinya tidak tertanam terlalu dalam rasa hutang budi. Meskipun itu Sierra.

Kakinya sudah melangkah terlalu jauh, padahal ia pikir tadi mungkin saja bertemu dengan Devano di pinggir jalan, tapi sampai detik ini ia tidak melihat keberadaan mobil hitam milik adiknya itu.

Apa Devano lupa jika harus menjemputnya? Jika ia sungguh keterlaluan, Devano juga seharusnya ingat bahwa ia takut naik angkot dan uangnya tidak cukup untuk memesan taxi.

Jalanan yang Alura lewati juga sepi, menakan rasa takut yang bersarang di hatinya Alura memilih kembali melangkah.

Hingga sebuah mobil berhenti di sampingnya, bukan mobil Devano tentunya, Alura tidak kenal jadi ia memilih tidak perduli.

"Lepasin gue!" Tangan Alura dipegang dua-duanya, ia ditarik paksa masuk ke dalam mobil itu, matanya ditutup dan mulutnya disumpal.

"Diam atau gue bunuh Lo." Merasa di lehernya ada sesuatu yang dingin, Alura diam, membeku dengan wajah ketakutan.

Alura berusaha tenang, ia tahu jika ini buka saatnya untuk memberontak. Tetapi tubuhnya tersentak kaget saat sesuatu yang tajam menusuk lehernya hingga menyentuh tulang.

Gelap. Itu yang Alura rasakan terakhir kali.




______________________________________

Nggak memenuhi target sih, jadi isi part-nya dikit aja.

Next?

65 vote+ 120 commenan.

Gimana?

Masa nggak Kepo siapa yang nyulik Alura.



Hi, Dear!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang