20. awere

854 110 12
                                    


Sierra masuk, langsung menghamburkan pelukannya ke Alura yang masih berbaring di brankar putih.

"Sumpah! Sumpah! Gue khawatir banget sama Lo, Alura." Alura hanya diam tanpa respon, matanya begitu kosong, dan wajahnya sangat hampa. Tidak ada tanda-tanda apapun dari cewek berpakaian rumah sakit itu.

Sierra mengurai pelukannya, menatap Alura yang sedari tadi seperti patung. "Ada yang sakit? Lo kenapa diam aja? Gue takut, Alu."

Devano bersedekap dada di belakang Sierra. Sangat gengsi menunjukkan apa yang ia rasakan pada Kakak perempuannya.

"Alura ... Lo denger gue nggak? Tatap mata gue, Lo kenapa? Butuh sesuatu? Biar gue ambilin," ujar Sierra menggenggam tangan Alura yang tidak diinfus.

Alura hanya diam menatap langit-langit kamar rawatnya, sesekali berkedip, ia memang pendiam, tapi tidak pernah sekalipun Sierra diabaikan olehnya.

Pintu kamar terbuka, seorang dokter perempuan dan dua perawat masuk bersamaan. Mereka menampilkan senyuman yang ramah.

"Selamat pagi Tuan dan Nona, saya ingin memeriksa keadaan Nona Alura!" Sierra yang mengerti pun memilih melangkah mundur, agar dokter dapat leluasa memeriksa keadaan Alura.

"Apa ada yang sakit?" Bahkan pertanyaan dokter Alura abaikan, ia hanya diam tidak memberi respon.

Dokter tersenyum maklum, ia sendiri yang menangani keadaan Alura semalam. Memperihatinkan dan jauh dari kata layak. Jika pagi ini Alura bersikap seperti itu, sudah sewajarnya, ia trauma dan masih berada di dalam kejadian semalam raganya.

"Sahabat saya kenapa, dok? Alura emang pendiam, tapi dia nggak pernah sampai kayak gini." Sierra berkata panik. Dokter Nita menoleh, tersenyum untuk membagi aura positif.

"Temui saya di ruangan saya, ya." Kemudian dokter Nita mengusap bahu Alura, "Kamu yang tenangnya. Kejadian tadi malam itu cuman mimpi, disini kamu bakalan baik-baik aja."

Saat dokter dan kedua suster sudah keluar, Devano berdiri tegak, "Gue susulin dokter Nita dulu. Lo temenin Kakak gue disini aja."

Devano mendorong kursi besi untuk Sierra duduki. Lalu berlalu pergi meninggalkan kamar rawat.

"Lo kenapa Alura? Gue takut kalau Lo kayak gini, ayo dong ngomong, bilang haus kek atau bilang laper kek, atau Lo mau pipis? Mau berak? Atau mau kentut? Bilang aja," oceh Sierra dengan raut wajah cemberut. Matanya memanas melihat Alura diam tidak memberi tanggapan apapun.

Perlahan Sierra manangis terisak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, "Ini salah gue. Seharusnya gue nggak ninggalin Lo kemarin."

"Keluar Sierra."

" ... Gue kotor. Bukan Alura yang dulu."

Tanpa ekspresi. Tanpa nada. Tanpa menatap Sierra. Hati Sierra sakit. Kehidupan Alura seperti direnggut. Tidak ada yang mengetahui apa yang yang Alura lewati semalaman sendiri di gedung tua sana.

"Lo nggak kotor! Lo bersih! Coba lihat badan Lo, Udah bersih kan? Tadi sebelum Lo sadar udah gue lap, karena gue tahu Lo nggak suka dipegang-pegang siapapun." Sierra menggeleng histeris. Ketakutan setengah mati dengan keadaan Alura seperti ini.

"Cerita sama gue, Lo diapain kemarin? Gue sahabat Lo, kan? Gue disini siap kok dengerin curhatan Lo," ujar Sierra menatap Alura getir.

Alura menoleh, tangannya terangkat untuk menjauhkan tangan Sierra dari dirinya. "Gue nggakpapa. Gue mau sendiri."

"Alura ... Jangan kayak gini. Lo anggap gue apa, sih? Apapun kejadian semalam jangan dipikirkan lagi. Jangan diingat-ingat lagi. Lupain aja, itu cuman mimpi buruk."

Hi, Dear!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang