23. Membantu atau modus?

1.1K 142 49
                                    


Makasihhh banyak yang udahh vote dan comment ;)

*****

Alura benar-benar mengasingkan dirinya di dalam kamar, tidak akan keluar meskipun Devano memanggil, ia sungguh kecewa pada Jonathan.

Baru saja Alura akan mengunci jendela, suara ketukan dan penampakan siluet tubuh berbadan tinggi di balik jendela kaca.

Kai menyembulkan kepalanya, "Minggir! Gue mau masuk." Wajah tanpa dosa itu membuat Alura mundur perlahan. Kata-kata untuk meminta Kai pergi tertelan kembali di tenggorokannya.

Setelah seharian mengurung diri, tidak membuka sosmed, dan hanya diam tanpa melakukan apapun, ia butuh seorang teman untuk berbagi keluh kesah. Sierra, tentu saja cewek itu tidak ingin Alura repotkan lebih jauh.

"Gue bawain makanan, Lo kelamaan di rumah malah makin tepos." Kai mendudukkan dirinya di pinggir ranjang empuk Alura setelah meletakkan sekantong plastik putih di meja belajar.

"Gue nggak lapar," ujar Alura memilih duduk berjauhan dengan Kai. Jantungnya tidak aman di dekat cowok bertindak hitam itu. Rasanya perutnya bergemuruh.

"Yaudah kalau gitu Lo aja yang gue makan!"seru Kai sambil membuka jaket Jeansnya dengan pandangan lurus menatap Alura.

Alura memerah tanpa alasan, pasokan udara di sekitarnya menjadi panas dan menipis. Seharusnya ia tidak bereaksi berlebihan seperti ini hanya karena seruan tidak jelas Kai.

Namun, hal itu berhasil membuat Alura membuka kantongan yang Kai bawa, karena ia tahu bahwa gertakan Kai bukan hanya omong kosong belakang. Cowok itu selalu bertindak semuanya dan sangat memusingkan.

"Makasih, seharusnya Lo nggak usah repot-repot kayak gini. Kalau misalnya Vee tahu dia bisa salah paham sama kita." Alura masih menunduk, enggan menatap Kai, ada rasa tidak rela di hatinya saat mengatakan itu. Mengingat Valerie, otaknya berkerja cepat untuk membandingkan dirinya dengan cewek berambut pirang yang berstatus menjadi kekasih Kai.

"Salah paham? Emang kita ngapain?" tanya Kai dengan wajah polos yang dibuat-buat. Ia berbaring di ranjang Alura, lalu memeluk salah satu boneka kesayangan Alura disana. "Gue rasa nggak ada yang perlu disalah pahami tentang kita berdua."

Alura berusaha bernafas dari mulutnya, ia merasa bukan itu jawaban yang ingin didengarnya dari Kai. Ia ingin yang lain, lebih dari itu.

"Gue cewek, gue tahu apa yang Vee rasain." Alura berhenti memakan martabak manis yang Kai bawakan untuknya. "Semua cewek bakalan salah paham kalau lihat pasangannya ada di dalam kamar cewek lain saat malam hari."

Kai bangkit, melangkah mendekati Alura lalu berjongkok dengan salah satu kaki ditekuk. "Berhenti mikirin perasaan orang lain, Ra. Pikirin perasaan Lo sendiri. Pikirin apa yang Lo mau. Pikirin tentang Lo aja."

Ia mengusap lembut lutut Alura yang tidak terhalang apapun karena cewek itu memakai celana di atas lutut.

"Kalau memang Lo mau gue pergi, itu harus dari hari Lo dulu. Lalu bilang ke gue, setelah itu gue bakalan pergi. Nurutin semua kemaun Lo, tapi itu harus berdasarkan kemauan hati Lo sendiri bukan karena Lo mikirin hati orang lain." Kai membuka tas hitam yang ia bawa, mengeluarkan map bening lalu ditaruhnya di atas paha Alura.

"Lo isi ini, lusa bakalan pemilihan siapa yang bakal ikut olimpiade mewakili sekolah. Jadi besok Lo harus sekolah untuk ngejar memori," sambung Kai tanpa memberi jeda Alura mengelak.

Alura menatap kertas di pangkuannya, "Gue nggak mau! Gue kan udah bilang, gue nggak bakalan ikut begituan lagi."

"Lo baru kalah sekali dan Lo mau nyerah? Mana Alura yang berkali-kali nolak gue kemarin? Kenapa sekarat cepat banget nyerah, sih?" Ejek Kai sambil mengacak gemas rambut Alura.

Yang diacak rambut gue, kok hati gue yang berantakan? Gumam Alura di dalam hatinya dengan kedua sudut bibir yang berkedut untuk melengkung.

"Apapun yang Lo bilang, gue nggak bakalan mau. Kalau Lo mau maksa orang, paksa orang lain aja. Gue nggak mau!" Di sudut hati Alura, ia merasa bebas, bebas berpendapat dan menolak. Bukan hanya seperti patung tolol yang disuruh ini itu mau.

Kai menunduk, meletakkan bibirnya di lutut Alura yang terbuka hingga membuat jantung Alura terasa hampir melorot ke lambung. Alura mencengkram pinggiran meja karena aksi bejat Kai, yang sayangnya membuat hati Alura menjadi teracak-acak.

Setelah melihat Kai memandangnya dengan tatapan geli, barulah Alura melihat lututnya yang kini memilih sebercak warna merah yang terlihat cukup pekat dan membengkak.

"Satu tolakan, satu tanda. Nggakpapa Lo nolak terus, gue yang untung." Kai menyeringai menyebalkan.

"Mundurnya nggak?! Gue teriak nih," gugup Alura melotot garang yang justru terlihat lucu di mata Kai.

"Teriak aja! Dipergokin terus nanti dinikahi," ujar Kai begitu enteng dan tanpa beban. Berbanding terbalik dengan Alura yang merasa meledak-ledak dan terbakar.

"Gue cuman ikut dan daftar. Kalau gue nggak lolos, Lo nggak boleh paksa gue apapun." Alura meraih map itu lalu mengeluarkan kertas formulirnya dan mengisi semua kolom disana.

Kai bangkit sambil bersedekap dada, "Kalau Lo lolos. Lo harus ciuman sama gue sambil berdiri. Gimana?"


÷÷÷÷÷


Kai terbangun dengan nafas memburuh, ia menatap sekitarnya yang begitu gelap, lalu beralih menatap Valerie yang tertidur nyenyak di sampingnya. Ia menghela nafas sambil memakai baju berwarna hitam polos.

Kaki panjangnya melangkah ke balkon kamar, mata Kai menjelajah pemandangan kota Jakarta di malam hari sambil menyesap rokoknya.

Kai bimbang dengan perasaannya sendiri, apa ia benar-benar menyukai Alura atau hanya kasihan pada cewek itu. Tapi melihat Alura sedih, sungguh ia tidak rela. Di dalamnya dirinya memberontak untuk melindungi cewek pendiam itu.

Sifat Kai yang seperti ini karena ia yang dulunya terbuang. Tidak dianggap. Telah kehilangan hal berharga.

Pundak Kai rasanya sangat berat, antara melepas Alura. Membiarkan cewek itu meregang nyawa atau balik menikam orang-orang yang suda memungutnya dari kesengsaraan masa kecil.

Lagipula ada Valerie bukan? Kepada siapapun Kai pergi, akhirnya ia akan pulang ke Valerie. Bahkan dulu juga seperti itu. Saat ia merasa benar-benar mencintai Alana. Akhirnya ia tetap kembali pada Valerie.




÷÷÷÷÷


"AKHIRNYA! ALURA!" Sierra berteriak heboh saat melihat kedatangan Alura di gerbang. Ia melompat-lompat seperti anak kelinci, lalu memeluk erat Alura.

"Gue kesepian, gue kesepian, gue kesepian. Lo nggak boleh ijin lagi!" seru Sierra setelah melepaskan dekapannya. Draco yang sejak tadi mengikuti Sierra tertawa lebar.

"Lo harus datang ke sekolah terus, Al. Pacar gue jadi macan galak nggak ada Lo." Draco berucap pelan, dan nyaris sangat tenang. Alura membulatkan mulutnya, tidak percaya jika Sierra dan Draco sudah berpacaran.

"Hehehe, nanti gue ceritain di kelas!" Sierra yang mengerti arti tatapan Alura hanya menyengir lebar.

"Aku ke kelas dulu ya, beb!" Pamit Sierra sambil merangkul Alura untuk bergegas ke kelas.

Draco menunduk menatap sepatunya, benar kata Sagara, Alura pusat dari semua ini. Baik buruknya ke depan tergantung di tangan cewek itu.


______________________________________

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi, Dear!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang