21. uncertain

877 118 17
                                    


Setelah kepulangan teman-temannya Alura, yang tersisa di ruangan itu hanya Jonathan dan Devano yang menemani Alura.

Jonathan duduk di sofa yang tadi di tempati para anak remaja. Mereka duduk dalam keheningan. Alura sendiri menjadi lebih pendiam dari sebelumnya, ditanya saja belum tentu menjawab.

"Mama sama Liora nggak Papa kabarin soal kamu, disana mereka sibuk banget, takutnya dengar kabar kamu mereka jadi nggak konsen, kasihan Liora nanti, mimpi dia udah di depan mata. Nggakpapa, kan? Lagian disini udah ada Papa sama Devano," jelas Jonathan setelah menghela nafas panjang. Mendengar berita dari Devano soal kondisi Alura, membuat pikirannya sedikit terguncang.

Alura terdiam beberapa saat, ia memandangi langit-langit kamar rawatnya dengan datar. Senyum kecilnya terbit.

"Aku nggak tahu ini egois atau enggak,  tapi kenapa disaat aku bahkan mau mati Papa masih mikirin hal lain? Di mata Papa, aku ini apa?" Suara Alura yang bergetar menjadi lantunan kesedihan di kamar itu.

Jonathan mengerutkan kepala bingung, "Kamu nggak biasanya kayak gini lho, Al. Sekarang kenapa malahan protes-protes nggak jelas gini."

Alura menutup mata pedih, ia bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk melayangkan protes, karena hatinya seperti sesak. Tetapi saat sudah berani mengutarakannya, kalimatnya langsung dipatahkan oleh kalimat menyakitkan dari sang Papa.

"Maaf!" Alura berucap pelan, lalu menutup matanya, memberi kode secara tak langsung bahwa ia ingin istirahat. "Aku mau tidur."

"Yaudah Papa sama Devano tunggu di luar, selamat malam," ujar Jonathan lalu melangkah terlebih dahulu keluar kamar. Tersisa Devano dan Alura dalam keheningan.

"Lo harus coba ngertiin Mama sama Kak Liora ya, Kak," ujar Devano menatap Alura.

"Keluar!" ujar Alura tanpa mau menatap Devano, setelah kepergian Adik laki-lakinya, perlahan air matanya langsung turun mengenai bantal birunya.

"Aku cuman minta sedikit didengerin, mau Mama ada disini nenangin anak ceweknya, tapi malah Papa bilang nggak jelas?" Alura berucap lirih seraya menutup matanya. "Aku bahkan nggak tahu kesalahan aku apa, tapi aku malah jadi korban kayak gini."

"Kalian ngerti nggak sih aku butuh didengerin?"

"Ngerti!" Kedua mata Alura langsung terbuka, wajah Kai yang hanya berjarak beberapa senti dari dirinya.

Alura hanya menutup mulutnya sambil menatap kedua mata Kai, saat tubuh cowok itu mundur lalu duduk di kursi yang biasa digunakan Devano barulah Alura bisa melihat jendela kamar yang terbuka lebar.

"Coba cerita sini, gue dengerin," ujar Kai mengusap air mata Alura dengan lembut. "Nanti Lo tambah jelek plus tepos kalau nangis terus kayak gini. Tapi nggakapapa sih kalau mau nangis, nggak boleh ditahan."

Tangisan Alura pecah seketika, ia menangis histeris di depan Kai.
"Perasaan barusan gue bilang nggakpapa, malah beneran, geser gue peluk."

Alura memundurkan tubuhnya, membiarkan Kai naik ke brankarnya, lalu menarik tubuhnya ke dalam dekapan cowok berjaket hitam itu.

"Nangis aja, keluarin semua yang buat Lo sesak," ujar Kai menepuk bergantian punggung dan Pucak kepala Alura.

"Alura bobo, Alura bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk." Suara datar Kai mengalun fals di dalam kamar rawat itu. Alura tersenyum kecil disela-sela tangisannya.

"Tidur ya, besok masih hari yang panjang, nggakpapa Lo nggak mau bicara sama siapapun. Yang penting Lo nyaman," ujar Kai pelan. Alura hanya diam, ia sangat malas merespon, di dalam pelukan Kai ia merasa nyaman. Perlahan matanya tertutup hingga suara dengkuran halus terdengar.

Hi, Dear!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang