24. Menentukan Pilihan

557 51 14
                                    


"Keluargaku?"

Trisha mengangguk, tatapannya terarah penuh pada Ervan. Langkah keduanya masih terayun menjejaki butiran pasir putih di tepi pantai.

Ervan menatap lurus ke depan. "Bukannya aku pernah bilang, kalau orang tuaku udah nggak ada?" Ervan menoleh Trisha dengan jemari yang masih mengenggam lembut tangan gadis itu.

"Ayahmu?"

"Ayahku udah nggak ada sejak aku masih SD."

Trisha menatapi wajah datar kekasihnya itu dari samping. Tatapannya kosong dibuang lurus ke depan.

"Bagaimana kamu melalui hari-harimu sebelum bertemu aku, Van?"

Ervan menoleh, langkahnya dipaksa berhenti. Keduanya kini hanya saling bertukar pandang dalam atmosfer hening.

"Aku jalani dengan sebagaimana mestinya, Tris. Sewaktu ayahku meninggal karena kecelakaan, waktu itu aku memang masih kecil, tapi aku masih punya ibu. Dan setahun yang lalu, ibu meninggalkanku di saat aku sudah dewasa dan bisa mengurus diri sendiri. Semua terjadi sebagaimana mestinya, bukan?"

Trisha terdiam menatapi Ervan. "Kalau aku jadi kamu, aku pasti nggak sanggup, Van. Sedewasa apa pun aku, rasanya nggak akan sanggup hidup tanpa orang tua. Kenapa kamu bisa sekuat ini?"

"Setiap orang pasti akan merasakan kehilangan dalam hidupnya, Tris. Entah siapa yang pergi dari hidup kita nanti. Suatu saat, kita pasti merasakan kehilangan. Nggak ada yang benar-benar kita miliki di dunia ini, kan?"

Mendengar kalimat Ervan barusan, Trisha terdiam, Ervan pun demikian. Keduanya saling menyorot dengan isi kepala masing-masing, terutama Ervan. Setelah ini, apakah ia akan merasakan kehilangan lagi? Setelah pertunjukan selesai, apakah perasaanya pada Trisha juga harus dipaksa selesai? Baru saja Ervan merasakan hatinya menghangat sejak kehadiran gadis itu. Namun Ervan sadar, Trisha hanya seseorang yang jagat raya ini titipkan sebentar untuk membuatnya bahagia. Hanya sebentar. Setelah malam ini, semua tidak akan pernah sama!

"Tris .... " Ervan menyadari perubahan air muka gadis di hadapannya. Jemarinya terulur menyentuh pipi sebelah gadis itu. "Kenapa?"

Trisha mendongak lalu menggeleng. "Nggak."

"Aku membuatmu mengingat seseorang? Maaf .... "

Gadis itu menggeleng, pandangannya tertunduk.

"Udah, ya. Kita bicarakan yang lain."

"Aku nggak mau kehilangan siapa pun lagi. Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Van," ucapnya lirih.

"Hei, kenapa nangis?" Ervan terkesiap, jemarinya sigap membasuh air mata Trisha yang jatuh begitu saja.

"Aku sayang banget sama kamu, Van .... "

Gerakan jemari Ervan mengusap bulir bening itu terhenti. Ervan tersenyum samar. "Aku juga ...."

"Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?"

"Di sini yang seharusnya takut kehilangan itu aku, Tris. Harusnya pertanyaan itu buat kamu."

Raut wajah Trisha menampilkan mimik tidak mengerti.

"Kamu, lah yang mungkin meninggalkan aku. Di luar sana, banyak pria yang lebih baik dan sepadan denganmu."

"Kenapa aku harus ninggalin kamu? Aku mau sama kamu terus bahkan sampai .... " Trisha menggantung ucapannya.

"Sampai?" Ervan merunduk, menuntut kalimat Trisha yang terpotong.

Trisha mendongak, menatap lekat pada mata jelaga Ervan. "Menikah."

Mereka hening beberapa saat dalam belaian angin yang berembus. Pelan, tetapi pasti, bibir Ervan menarik segaris senyum tipis khasnya. Tangannya terulur menyentuh puncak kepala Trisha yang tertutup topi pantai. "Kamu mau nikah sama orang macam aku, Tris?"

Jagat Raya Trisha (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang