PROLOGUE - "Karena cintaku tak memandang jarak usia di antara kita." W.A.R

160 15 19
                                    


Prologue

Gadis itu, dengan senyumnya yang khas, entah mengapa mengusik naluri mudaku lagi. Aku bukan anak remaja yang semestinya masih tergila-gila dengan anak remaja bau kencur sepertinya, tapi melihat gadis itu tertawa riang dalam foto keluarganya telah mengusik keinginanku untuk memilikinya, memiliki seutuhnya, bukan hanya teman sesaat yang biasa kutawarkan pada wanita-wanita yang singgah dalam hidupku. Tapi lebih dari itu, gadis ini.. Dia membangkitkan sesuatu yang telah hilang dalam hidupku, cintakah itu?

Yah, sejak diputuskan dengan menyakitkan oleh satu-satunya wanita yang kukira kucintai..itupun karena dia lebih memilih laki-laki lain yang dirasanya lebih baik dariku, yang lebih kaya dariku, yang lebih bermasa depan cerah dariku, lebih segalanya dariku.. sejak saat itu.. aku memutuskan tidak ada wanita manapun yang berhak menguasai dan mengatur hidupku lagi, atau hatiku. Tapi gadis ini, aku bahkan belum mengenalnya, hanya kutahu nama dan usianya dari ayahnya.

Ayahnya, ya calon kakak iparku adalah ayah dari gadis ini. Kakak perempuanku, satu-satunya keluarga yang masih kumiliki, yang memiliki masa lalu yang membuatku khawatir padanya, akhirnya memutuskan telah membuka hatinya lagi untuk seorang pria lain setelah kematian suaminya yang mengenaskan karena diabetes akut.

Aku tak pernah sekhawatir ini sebelumnya dengan pilihan kakakku, Liliana.. biasa kupanggil Lili, sebelumnya telah menikah dengan mentorku, orang yang menyemangatiku untuk terus mengejar mimpi dan cita-citaku, Mas Riyanto, almarhum. Beliau menderita diabetes parah hingga harus menjalani amputasi pada bagian tubuhnya namun itupun tak dapat menyelamatkan hidupnya.

Aku tahu bagaimana kakakku Lili berkabung selama hampir lima tahun sebelum akhirnya bangkit kembali dengan sisa-sisa semangat yang dimilikinya, itupun karena Lili mengkhawatirkan study-ku yang terbengkalai antara sekolah dan bekerja.

Keluarga kami memang bukan keluarga kaya raya, orang tua kami meninggal karena kecelakaan tragis saat aku masih duduk di bangku SD, saat kami sekeluarga pulang ke kampung halamanan kami saat hujan lebat dan ban mobil kami slip hingga terjatuh ke jurang.

Demi menyelamatkan aku dan Lili, Papa dan Mama mengorbankan hidup mereka, mereka menggunakan tubuh mereka untuk memeluk kami sehingga tubuh kami hanya terkena benturan ringan. Tapi sejak saat itu, kami yatim piatu. Kami hanya memiliki seorang nenek yang penyabar dan menyayangi kami. Tanpa sedikitpun beliau mengeluh, nenek berhasil menyekolahkan kami hingga ke perguruan tinggi. Tentunya aku berusaha keras belajar agar mendapatkan beasiswa sehingga cita-citaku sebagai seorang dokter bisa kugapai.

Bahkan Lili, kakakku mengorbankan masa mudanya untuk bekerja keras membiayai hidup kami setelah kepergian nenek di usiaku yang ke lima belas tahun, saat itu aku sudah mulai menginjak bangku kuliah dengan beasiswa dari pemerintah dan beberapa yayasan penyedia beasiswa yang mendekatiku sejak di bangku SD.

Memang sejak kecil aku telah memiliki nilai-nilai akademik yang membanggakan, beasiswa demi beasiswa kudapatkan dan pengurangan jumlah kelas mengantarkanku lulus SMU pada usia lima belas tahun kurang. Hal ini pulalah yang membuat Lili semakin giat bekerja untuk membiayai pendidikanku. Hingga akhirnya aku meraih gelar Doktoral pada usiaku yang ke dua puluh delapan tahun.

Namun demikian, sejak usia dua puluh dua tahun aku sudah mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah rumah sakit negeri dan swasta terkenal di ibukota, sejak saat itu aku mulai bisa membantu keuangan keluarga, bahkan mengumpulkan sedikit demi sedikit penghasilanku untuk membangun sebuah rumah sakit impianku nantinya, mungkin di Jakarta, atau kota asal kami atau mungkin di kota besar lain, aku belum terlalu memikirkannya, setidaknya hingga setahun yang lalu, sampai Lili mengatakan dia akan menikah lagi, dengan seorang laki-laki duda paruh baya, telah beranak tiga dan mereka semua telah dewasa, bahkan memiliki masa lalu yang membuatku mengerutkan dahiku dengan keras.

Aku sempat marah pada kakakku Lili karena keputusan gilanya, bagaimana mungkin dia melemparkan hidupnya pada laki-laki seperti itu? Apa kelebihan duda itu sehingga Lili mau menerimanya, sampai saat ini pun aku tak pernah berhasil mengungkap isi hati kakakku. Dia selalu tersenyum meskipun aku marah kesetanan dan melarangnya untuk menikahi laki-laki itu. Hahh.. Aku sangat menyayangi kakakku, aku hanya ingin yang terbaik untuknya.

Bila Lili mau, dia bisa menikahi laki-laki yang lebih baik dari calon suaminya ini. Aku bisa mengenalkan Lili pada rekan-rekan sejawatku, tapi dia bersikukuh, dia menemukan cinta pada diri laki-laki itu.

Huh.. Cinta? Masih adakah cinta di dunia ini? Bukannya hanya ada nafsu dan ketamakan? Bila kau tak memiliki simpanan uang dalam rekening bankmu, rumah mewah yang megah, deretan mobil mahal dan komunitas orang-orang borjuis..adakah wanita yang mau? Tidak!! Semua wanita sama, mereka hanya menginginkan apa yang kau miliki.

Cinta? Bisa dengan mudah dipatahkan hanya karena kau tidak memiliki apa-apa. Aku tak perlu cinta untuk mendapatkan wanita, cukup penuhi kebutuhannya dan mereka akan dengan rela merangkak di bawah kakiku, namun tak cukup pantas untuk berdiri di sampingku. Tak ada wanita yang seperti itu.

Lalu.. gadis ini.. Apakah dia seperti itu juga?? Aku tak pernah menginginkan seorang wanita dalam hidupku seperti aku menginginkannya, hanya melihat senyum dan tawa riangnya telah membuat hatiku merindukannya. Maka dengan alasan untuk memiliki sebuah foto keluarga, foto inipun kuminta untuk kusimpan untuk diriku. Mungkin aku akan melihat foto ini lagi bila aku merindukan gadis ini. Aku tak sabar lagi ingin bertemu dengannya, saat calon kakak iparku ini mengajak kami bertemu dengan keluarganya. Aku ingin tahu lebih banyak lagi mengenai gadis ini.. Camelia..

~*~*~*~

Namaku Cong?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang