Chapter 16

58 6 0
                                    


"Api cinta telah dinyalakan kembali, tunggulah aku wahai pujaan hati." W.A.R 


Lili menyapa kedatanganku di rumah Koh Franz, kakakku ini sedang menyapu halaman. Sejak menjadi istri Koh Franz, Lili berhenti dari pekerjaannya, dia fokus hanya menjadi ibu rumah tangga. Aku tak tahu bila ini yang paling diinginkannya, kakakku ini memang agak misterius mengenai hatinya.

"Koh Franz ada?" tanyaku pada Lili.

Dia menghentikan kegiatannya menyapu, menatapku penuh makna, mengamati wajahku yang kusut dan kurang bergairah. Mata Lili seolah menembus ke dalam hatiku, mencari tahu apa masalah hatiku. Tapi dia tersenyum, dia tak ingin menanyakanku. Ah.. dia memang selalu begitu, tak pernah memaksaku.

"Ada, dia baru saja pulang. Mungkin sedang nonton tivi sekarang," jawabnya.

Akupun mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu kulihat Koh Franz sedang membaca koran dengan tivi masih menyala. Dia mengernyitkan dahinya ketika melihat kedatanganku.

"Eh, Liam. Baru datang? Gak kerja?" tanyanya masih sambil membaca koran di tangan.

"Iya, Koh. Ini lagi jam istirahat," jawabku menghampirinya.

Tanpa dipersilahkan, aku duduk di kursi di sebelah Koh Franz duduk, aku tak perlu meminta izinnya, sejak awal Lili dan Koh Franz berpacaran, kami sudah akrab seperti ini. Yah.. setidaknya untuk masalah seperti ini, kami masih akrab..

Koh Franz melipat koran di tangannya dan menaruh koran itu di atas meja, mematikan televisi dan melepaskan kacamata bacanya sebelum menatap mataku dengan penuh tanda tanya. Alisnya mengerut curiga dengan maksud kedatanganku.

"Mau bilang apa? Langsung saja tak usah basa-basi," perintahnya padaku.

Aku menghela nafasku dengan berat, sudah kali ke empat kini aku mendatangi Koh Franz, belum satupun berhasil. Meskipun aku telah berlutut di bawah kakinya, Koh Franz tetap sekeras karang. Kenapa dia sekeras itu aku tak habis pikir, apakah hanya dia yang bisa berubah dan menikahi Lili?

Kadang keegoisan menguasai hatiku dan ingin menggunakan alasan itu untuk pembenaranku memiliki Camelia, namun alasan itu sungguh murahan. Aku tak ingin membangun hubunganku dengan Camelia di atas kebencian keluarganya padaku.

"Aku ingin mendapat izinmu untuk menikahi Camelia, Koh," jawabku pelan sembari menutup mataku. Aku tahu sebuah tamparan akan mendarat di pipiku, seperti biasa. Dan benar saja, rasanya sungguh panas dan menyakitkan. Aku bisa merasakan bekas luka retak di hidungku kembali berdenyut menyakitkan terkena sebagian tamparan tangan Koh Franz.

Koh Franz bangkit dari duduknya, berjalan mondar mandir di depanku. Wajahnya terlihat sangar dan bibirnya berkedut-kedut menahan amarah. Apakah sebesar itu dosaku hingga tak boleh memiliki anakmu, Koh??

"Ini lagi, ini lagi??? Kan gw sudah bilang, lu tinggalin anak gw. Apa sih yang gak jelas dari itu, Liam? Lu itu orang berpendidikan, susah amat ya bagi lu ngelaksanain kata-kata gw? Kenapa gak sekalian aja lu tinggal di Amerika waktu lalu? Bukannya balik lagi kesini gangguin anak gw. Lu kan tahu lu itu adik ipar gw, apa kata orang kalau gw ngasiin anak gw ke elu, Liam. Nyahok lu ya jadi orang. Gak bakal gw ngasiin lu nikah sama Neng. Kecuali lu hamilin dia, tapi itupun gak mungkin, gw gak bakal ngasi lu deketin anak gw lagi. Paham lu, Liam? Mending lu pergi aja dah dari kota ini, balik ke ibukota, bukannya karir lu bagus disana. Gak usah jadi dokter disini, disini duitnya kecil, lu bakal nyesel trus lu nyalahin Neng kalau kalian menikah karena dia menghalangi karir lu. Lu tahu Neng gak mungkin ninggalin kota ini selama orang tuanya masih hidup. Dasar lu ya, orang tak tahu malu."

Namaku Cong?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang