Chapter 17 - "A man's heart is in his family." W.A.R

61 6 0
                                    


Entah mengapa aku begitu suka bila dia mengata-ngataiku seperti ini, membangkitkan kenangan lama kami, saat dimana aku masih begitu gencar mencuri sebuah ciuman darinya.. Ah.. aku merindukan masa-masa itu, meski aku tak akan menolak ciuman pasrah dari Camelia.

Dengan memeluk tubuh mungilnya, kujelaskan mengapa aku seperti itu.. Sungguh aku tak rela Camelia membenciku karena masalah kecil ini.

"Jangan marah.. Aku selalu memperhatikanmu meski kau tak tahu. Setiap pulang dari praktek aku selalu singgah di depan kompleks kosmu, duduk dalam mobilku berjam-jam hingga lampu kamarmu padam. Aku ingin masuk.. Tapi temanmu dan laki-laki itu disana. Aku juga tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku belum berhasil mendapat persetujuan ayahmu, selama ini aku mencoba, tapi selalu gagal. Dia semakin membenciku dan selalu mengusirku dari rumahnya," jawabku sedih.

"Papa menamparmu?" tanya Camelia padaku. Tangannya yang lembut membelai pipiku, tempat dimana tamparan Koh Franz bersarang tadi siang.

"Bukan apa-apa. Aku bisa menahannya, bahkan tamparanmu pun aku bisa menahannya. Kalian ayah-anak senang sekali menampar pipiku," jawabku miris.

"Itu karena kamu berengsek, makanya kamu pantas ditampar." Oh, Camelia.. Aku sungguh gemas.. melihatmu seperti ini, bolehkah aku menciummu sekarang??

"Camelia.. Apa yang kau pikirkan? Katakan padaku.. Aku sedih melihat wajahmu bersedih," bisikku setelah menyadari air muka Camelia yang mendadak berubah murung.

"Liam.. Apakah kamu akan pergi lagi? Aku takut bila kamu pergi lagi, tanpa kabar.. Kamu membuatku sedih, kecewa. Mengapa kamu tidak pernah menghubungiku saat kamu pergi? Bahkan setelah siang itu, kamu menghilang sebulan lebih tanpa kabar, kamu hanya datang setelahnya seolah tak ada yang terjadi, seolah hatiku tak pernah kamu sakiti. Bagaimana aku harus bersikap bila kamu seperti itu terus?" tanyanya.

Oh, Cameliaku tersayang.. Kukecup kening gadis ini, ingin rasanya kupeluk tubuhnya untuk menghiburnya, tapi aku harus membuatnya percaya padaku, aku bersungguh-sungguh..

"Lia.. Camelia.. Aku tak akan meninggalkanmu lagi, bilapun aku pergi aku akan mengajakmu serta. Aku tak akan pergi dari kota ini, rumahku disini, dimanapun kau berada, disanalah rumahku. Aku akan pergi kemanapun kau ingin, Camelia." Kurangkum wajah Camelia, keinginan untuk menciumi bibir indah ini semakin mendesak. Aku sudah boleh menciumnya, kan?

Tapi Camelia menutup mulutku dengan tangannya, dengan wajah merengut dia mengomel padaku, "Tunggu.. Aku tahu apa yang kamu inginkan, tapi aku masih ingin bertanya lagi."

"Katakanlah, apa yang ingin kau tanyakan. Aku tahu, selama ini yang kau tahu hanyalah namaku. Dan segala sifat burukku."

Camelia menggigit bibirnya senewen. Apa yang dia lakukan pada bibirnya hanya menambah rasa penasaranku pada rasa bibir itu sekarang!!

"Siapa namamu? Berapa umurmu? Apa pekerjaanmu? Apa statusmu? Dimana saja rumahmu? Siapa saja mantan-mantanmu? Apakah kamu sedang berhubungan dengan seseorang selain aku? Apa hobimu? Warna apa yang kamu suka? Ehm..." ahh.. pertanyaan standar.. yah.. bisa dijawab belakangan, kini ada hal yang lebih mendesak.. aku ingin mengisi bahan bakarku.. aku ingin mendapat sebuah ciuman darinya. Tapi Camelia akan membunuhku bila aku berani coba-coba melakukannya.

"Baiklah.. Aku akan jawab satu per satu. Namaku.. Liam, nama lengkapku William Andreas Renatha. Rekan sejawat biasanya memanggilku dengan sebutan Doktor, karena aku memiliki beberapa gelar yang mungkin membuatmu menganga bila kau dengar." Kuamati wajah Camelia, dia nampak berpikir dengan keras.

"Wajahmu sungguh lucu saat sedang berpikir seperti itu. Ok ok.. aku lanjutkan, jangan cemberut, aku hanya bercanda. Ehm.. Mereka biasa memanggilku Doktor dokter William Andreas Renatha, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah. Disini aku praktek di.. rumah sakit Guna Dharma Husadha, rumah sakit dimana kau diperiksa kemarin. Rumah sakit itu sebagian besar sahamnya atas namaku, jadi bisa dikatakan rumah sakit itu milikku," lanjutku.

Camelia hampir tak mempercayai perkataanku, dia lalu bertanya bila aku adalah laki-laki yang memberi seminar di hotel Sahid.. ehm.. kapankah itu?? Hampir dua bulan yang lalu, bukan?

"Bagaimana kau tahu? Aku baru saja kembali dari Amerika.. setelah aku meninggalkanmu tanpa kabar..." jawabku sedih.. ah.. Seharusnya aku tak ke Amerika, kan?

"William Andreas Renatha.. Jangan katakan kalau kamu juga yang mengirimkan surat dan cincin itu padaku??" tanya Camelia lagi. Aku terpaksa mengeluarkan senyum miris di bibirku, kau baru menyadarinya sekarang, Camelia??

"Ya, itu dariku. Aku mengirimnya dari Amerika karena aku tidak bisa kembali sebelum waktuku habis. Aku menerima gelar doktor kehormatan di salah satu universitas di Amerika, aku sangat ingin pulang dan menemanimu di hari ulang tahunmu. Namun aku hanya bisa mengirimkan surat itu.. Dan cincin itu.. Apakah kau menyimpannya? Aku takut kau membuangnya," kataku serius. Aku masih menyimpan pasangan cincin yang kuberikan pada Camelia, cincin yang terukirkan inisial nama gadis ini.

"Aku masih menyimpannya, menunggu seseorang mengklaim cincin itu dariku," jawab Camelia pura-pura tak perduli. Akupun berdecak senang. Ternyata dibalik ketidak perduliannya padaku, dia menyimpannya.. Ahh.. aku boleh berbangga sebentar, kan?

"Memang tak salah aku memilihmu, Lia.. Sekarang sudah bolehkah aku menciummu? Sudah dua bulan aku tak mencium bibirmu.. Aku sangat merindukannya." Kini aku harus menciumnya, aku sudah tak sabar lagi. Tapi Camelia justru menepuk bibirku, ahh gadis ini sungguh kejam..

"Kamu belum menjawab semua pertanyaanku. Umurmu.. statusmu blablabla.. banyak sekali," tuntutnya.

"Ya.. Baiklah aku menyerah.. Er.. sampai dimana tadi? Oh, umur? Tahun ini usiaku.. Sial aku sudah tua bila dibandingkan dengan umurmu," jawabku bingung dan menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Kau masih mau kan, Lia? Dengan laki-laki setuaku? Yah, tidak tua-tua banget sih.. Usiaku tiga puluh dua tahun, tahun ini," jawabku buru-buru. Akan sungguh menyedihkan bila Camelia berdiri dan meninggalkanku karena usia kami yang berbeda cukup jauh.. er...

"Hm.. Teruskan," balasnya. jawaban gadis ini sungguh membuatku gila. Dia sengaja menggantungku dengan jawabannya.

"... Kau tak ingin menjawab pertanyaanku sebelumnya dulu?" tanyaku dengan wajah memelas. Hatiku tak kuat bila harus menebak-nebak, aku takut menebak bila tebakanku salah dan menyakitiku.

"Nope.. Kamu harus menjawabku dulu. Semuanya..." jawabnya kukuh. Ughh!! Dia sama seperti ayahnya. Kukuh dan egois!! Tapi mengapa aku tertarik padanya?? Sungguh aneh..

Kuhela nafasku dan menyandarkan punggungku yang lelah di sofa. Bisa kurasakan genggaman tangan Camelia nyaman dalam tanganku.

"Sekarang apa? Pekerjaan? Aku bekerja sebagai dokter spesialis dan konsultan di rumah sakit Guna Dharma Husadha, disana juga aku menjabat sebagai direktur utama, juga sebagai konsultan di beberapa rumah sakit lain di kota ini dan rumah sakit lain di ibukota. Aku juga menjabat sebagai ketua Perki provinsi kita, kau tahu Perki? Persatuan Kardiolog Indonesia, persatuan dokter spesialis jantung singkatnya. Ya, aku dokter spesialis jantung, tapi aku tidak bisa mengobati jantungku bila kau meninggalkanku." Gombal sedikit boleh lah.. Karena memang begitu adanya.

Kulepaskan tautan tangan kami dan kurangkum wajah Camelia menghadap wajahku, "Aku sudah tak bisa menahan lebih lama lagi, Camelia.. Aku ingin mengecap bibirmu. Aku merindukanmu..." lalu kucium bibirnya dengan mesra, melampiaskan semua kerinduanku selama ini dalam ciuman dalam dan panjang, ciuman yang kuyakin tak akan pernah ingin kulepaskan lagi.

"Liam..." bisiknya padaku. Darahku mendesir mendengar bisikan gadis ini. Instingku berbicara dan kuangkat tubuh kekasihku tanpa masalah. Kubaringkan tubuh mungilnya di atas ranjangku yang lebar, lalu aku merangkak di atasnya, menopang berat tubuhku dengan kedua siku tanganku, tubuhku menindih tubuh Camelia dengan posesif, tubuh kami menempel dengan pas.. ahh.. aku merindukan gadis ini..

~*~*~*~*~

Namaku Cong?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang