Chapter 20

69 5 0
                                    

"Restu terbesar adalah restu dari seorang Ibu. Janganlah pernah durhaka pada Ibumu, kau tak tahu apa yang akan menunggumu di akhirat nanti." W.A.R 


Meski tanpa Camelia, aku membicarakan rencana pernikahanku dengan keluarga besar Camelia. Tak lama lagi kami akan menikah, aku bahkan sudah menyiapkan apa-apa saja yang ingin aku sediakan pada saat hari pernikahan kami. Teman-teman dari Jakarta dengan senang membantuku. Mereka memberi selamat dan antusias ingin menghadiri upacara pernikahan kami. Mereka tak percaya aku melepaskan masa lajangku di usiaku yang ke tiga puluh dua, ketika dulu aku sesumbar tidak akan menikah sebelum usiaku yang ke empat puluh. Mereka penasaran seperti apa gadis yang berhasil memikat hatiku.

Karena tuntutan pekerjaan yang semakin membuatku kewalahan, aku hampir tak bisa mengantar Camelia kemana-mana, sedangkan dia membutuhkan untuk keluar rumah meski sekedar berbelanja kebutuhan rumah tangga. Aku tidak mengizinkan Camelia untuk bepergian dengan sepeda motornya. Sebuah goncangan kecil pada tubuhnya bisa membuat janin dalam rahimnya keguguran dan aku tak menginginkan hal itu, aku tahu janin itu adalah segalanya bagi kami.

Aku pun membelikan sebuah mobil sedan Toyota Camry warna putih untuk Camelia dan seorang sopir yang dikenalkan rekan dokter di rumah sakit. Pak Ian nama sopir itu, dia bertugas mengantarkan Camelia kemanapun dia ingin pergi, sesekali kami akan keluar berdua bila aku mendapat hari libur, yang sayangnya hampir mustahil.

Jadwalku sungguh padat bulan ini, aku harus melatih penggantiku sebelum mengurangi tanggung jawabku di pos-pos yang kurang fital. Aku tak mungkin mengundurkan diri begitu saja tanpa melatih penggantiku. Pekerjaanku berhubungan dengan nyawa manusia dan aku tak boleh melepaskan tanggung jawabku begitu saja meskipun tidak diwajibkan untukku melatih mereka lagi.

Bila aku berhasil mengatur ulang jadwal dan kegiatanku, setidaknya aku akan memiliki lebih banyak waktu bersama Camelia. Waktu.. aku memang selalu kekurangan waktu. Aku tak ingin kejadian yang sama terulang lagi pada hubunganku dengan Camelia seperti saat Clara menjadi pacarku. Tidak.. Aku tidak ingin Camelia merasa kesepian. Tunggulah beberapa minggu lagi, Camelia.. dan aku akan lega, sedikit lebih lega dan memiliki lebih banyak waktu bersamamu dan anak kita.

Camelia sungguh telaten melayaniku. Masakan tangannya begitu nikmat, aku tak akan pernah bosan memakan masakannya. Seperti malam ini, dia memasakkan daging ayam goreng bumbu merah dan cah kangkung untukku. Sayur kangkungnya terasa segar dan racikan bumbunya terasa pas. Ayam yang kukira pedas ternyata manis dan enak dilidah. Dia juga membuat suir-suir daging untukku yang bisa kumakan kapanpun aku ingin karena makanan ini tidak mudah basi. Dia melayaniku dengan baik.. dimanapun itu..

Di atas ranjang.. ah.. sejak hari pertama Camelia mulai melewati malam bersamaku di atas ranjangku.. kami tak pernah berhenti melakukan hubungan layaknya suami istri meskipun kami belum pantas melakukannya. Namun bukan Liam namaku bila tak bisa merayu calon istriku di atas ranjang. Aku bisa melupakan segala frustasi pekerjaan hanya dengan melihat wajah puas Camelia di bawahku, terkadang di atasku, atau sambil berdiri, dan beberapa gaya lain yang sedang gencarnya kami coba. Saat perut Camelia telah membusung kami perlu berhati-hati dalam memilih gaya yang akan kami pakai agar tidak membahayakan anak kami.

Namun malam ini, setelah makan malam dan kami berdua masuk dalam selimut, rasanya tenagaku habis terkuras seluruhnya. Bahkan hanya untuk mencium mesra bibir Camelia aku sudah tak sanggup. Memikirkan ereksiku akan berdiri hanya dengan mencium Camelia lalu aku akan pingsan karena kelelahan. Hah.. sungguh tak ingin kulakukan. Aku tak ingin Camelia beranggapan aku lemah di atas ranjang.

Samar kudengar Camelia memanggil namaku, lampu telah dipadamkan namun lampu kecil di meja di samping ranjang Camelia masih menyala, cukup untuk menerangi wajah kami.

Namaku Cong?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang