Chapter 7

55 7 0
                                    


"Cinta datang tanpa diundang, cintaku datang juga tanpa undangan. Dia memaksa masuk, seperti bagaimana aku memaksa masuk ke dalam hidup dan hatimu." W.A.R


Sore ini aku akan berangkat ke Jakarta dengan penerbangan Garuda Indonesia pukul enam sore, sebelumnya ada yang harus kulakukan terlebih dulu. Mobil yang baru kubeli setengah tahun yang lalu ini kuparkirkan di depan tembok rumah Koh Franz, aku ingin berpamitan pada mereka. Setelah itu aku akan ke bandara dan meninggalkan mobilku disana selama dua minggu lamanya, semoga tak terjadi hal-hal buruk pada mobil ini, semestinya aku naik taksi kesini, tapi sudahlah, sudah terjadi, tak ada yang bisa kukatakan lagi.

Lili menyambut kedatanganku dengan senang, sudah beberapa hari kami tidak berhubungan, aku juga merindukan kakakku ini dan terlebih gadis itu, aku sangat merindukannya. Sedang apakah dia sekarang? Apakah dia memikirkanku? Bila iya, baikkah pikirannya mengenaiku? Hah.. Camelia.. Neng.. Surbakti.. nama lengkapnya yang akhirnya kuketahui setelah Koh Franz memberitahuku kapan hari.

"Eh, ada Liam. Tumben, mau kemana rapi begini?" tanya Koh Franz padaku. Dia baru saja pulang dari toko miliknya. Koh Franz memiliki sebuah toko alat-alat pancing dan bengkel sepeda yang cukup besar, dari sana usahanya menyebar dan memiliki beberapa cabang di seantero kota.

"Iya, Koh. Aku akan ke Jakarta, mengurus beberapa hal. Baru pulang?" tanyaku basa basi. Kami duduk di sofa ruang tamu, Koh Franz menyalakan televisi dan membicarakan tentang isi berita di tivi denganku. Sejujurnya aku jarang menonton tivi, aku tak tahu berita apa yang terjadi diluar sana kecuali hal-hal seputar dunia kesehatan, aku sungguh tak tertarik.

Kulirik jam tanganku, setengah jam lagi aku harus berangkat ke bandara, bila tidak aku tak akan sempat untuk check in di pesawat. Maka kuberanikan mengutarakan maksud hatiku pada Koh Franz, mungkin aku harus menyiapkan diriku untuk mendapat penolakan terburuk sekalipun. Aku telah membulatkan tekadku, Camelia.. harus kumiliki, apapun caranya itu.

"Koh, ada yang ingin aku bicarakan sama koko. Ini masalah serius, Koh," kataku memulai.

Koh Franz mematikan televisinya dan mendengarkanku dengan seksama.

"Mau bilang apa? Katakan saja, tak usah sungkan. Kita keluarga sekarang," jawabnya. Fiuhh.. semoga awal baik ini berakhir dengan baik pula.

"Ehm.. Aku menyukai Camelia, aku ingin minta izin untuk berpacaran dengannya." Suaraku begitu yakin, aku tak ingin Koh Franz merasa aku hanya menipu dan ingin bermain-main dengan anaknya. Bila Koh Franz memberi izinnya, maka saat itu pulalah aku akan bergerak untuk mendekati Camelia.

Tak kusangka, bukan izin yang diberikan padaku, namun sebuah tamparan yang sangat menyengat. Kacamataku terlontar jatuh ke lantai, lensanya terlepas. Oh, sangat bagus!! Bisa kurasakan pipiku berdenyut menyakitkan, wajah Koh Franz merah padam menahan amarahnya. Rahangku pun mengeras, mencoba menahan segala perasaanku agar tak tumpah ruah keluar. Ku atur nafasku yang mulai sesak karena amarah yang bangkit akibat tamparan di pipi.. ahhh.. aku harus bersabar, demi diriku sendiri. Aku sedang berjuang untuk diriku, bukan untuk orang lain. Aku harus mengalah.. mengalah untuk menang.

"Berani-beraninya lu, Liam. Apa maksud lu bilang mau pacaran sama Neng? Lu gak mikir berapa umur Neng sekarang dan lu? Ahh.. dia masih kecil, Liam! Dan lu.. gw tahu lu orang kayak gimana di Jakarta, mau lu apain anak gw? Mau lu mainin? Tidak bisa!! Lu cari wanita lain yang bisa lu mainin lah, gw akan pura-pura gak denger ini, lu gak usah bahas ini lagi sama gw, pokoknya tidak akan gw izinin lu mainin anak gw." Dengan gusar Koh Franz pergi dari ruang tamu rumahnya setelah menceramahiku tentang masa laluku dan masuk ke dalam kamarnya dengan suara pintu terbanting dengan keras.

Namaku Cong?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang