Chapter 14

49 7 0
                                    


"Sakit karena cinta lebih sakit daripada sakit gigi, memang benar demikian." W.A.R 


Dua minggu dalam kondisi terburuk hidupku, akhirnya kakiku bergerak sendiri ke depan pintu kamar kos Camelia. Tanganku mengetuk pintu kamar itu meskipun kepalaku menolak dan memerintahkan tubuhku agar segera angkat kaki dan pergi jauh-jauh dari sini. Tidak, tubuhku ingin bertemu dengan Camelia, hatiku merindukannya, kewarasanku ingin mendengar penjelasan wanita ini, semenyakitkan apapun itu, aku harus bisa menerimanya.

Kuketuk pelan pintu kamar Camelia, dia membukanya dengan bingung, mungkin Camelia tidak berharap akan bertemu dengan seseorang hari ini. Demi melihat wajahnya yang begitu kurindukan, semangatku terangkat sedikit. Dengan terpaksa Camelia mengizinkanku masuk ke dalam kamar kosnya.

Mataku menatap nyalang dalam kamar kecil itu, mencari jejak laki-laki berengsek itu, mungkin saja dia pernah menginap di sini dan meninggalkan sesuatu yang menjadi miliknya saat menginap. Hatiku merasa sedikit lega karena tak satupun ada benda yang mencurigakan terlihat. Camelia kemudian memintaku untuk duduk, tapi aku tak bisa. Bila duduk, semua keberanianku akan menciut, nyaliku akan hilang dan tak akan ada suara yang keluar dari mulutku.

Aku bahkan tak berani menatap mata Camelia, aku takut dalam mata itu aku akan mendapatkan jawaban yang tak kuinginkan. Aku.. yang biasanya begitu penuh dengan percaya diri, kini merasa bagai amatiran yang tak memiliki secuil keberanian di depan wanita yang kucintai, wanita yang kuingat adalah milikku!! Bisakah dia tetap menjadi milikku??

"Mau apa kamu kesini?" tanyanya kesal.

Camelia.. bila sekarang kau menunjukkan kekesalanmu padaku, bukan kegembiraan yang kudapatkan, tapi kesedihan yang mendalam. Aku sedang berduka karena cintaku padamu.

Lidahku kelu, sulit rasanya mengungkapkan isi hatiku saat ini. Aku merasa sungguh hina hingga sampai hati memikirkan pertanyaan yang sudah menguasai kepalaku sejak dua minggu yang lalu, sejak statemen laki-laki berengsek itu menghancurkan kehidupanku. Camelia rupanya sudah tak sabar lagi dengan kebisuanku, dengan ketus dia mencoba untuk mengusirku..

"Bila tidak ada yang ingin kamu katakan lebih baik kamu pergi saja dari sini," katanya lagi.

Camelia.. please becareful with my heart.. Cinta adalah hal baru dan rapuh bagiku, pun aku tak akan menyerah untuk merebutmu, tidak sampai jari tanganmu memakai cincin pemberian laki-laki lain.

Lidahku semakin kelu, hanya suara tergagap yang mampu kukeluarkan, rupanya aku menderita syndrome panik dan tak percaya diri akut, hanya dalam keadaan seperti ini, hanya saat berada di depan gadis ini.

"Aku.. Apa benar dia.. Maksudku.. Ah.. tidak. Maksudku.. Dia.." ahh.. bodohnya aku. Ini hanya akan semakin membuat emosi Camelia.

"Maksudmu apa? Aku tidak punya waktu seharian untuk mendengarmu berbicara tak jelas seperti ini di depanku." Dia semakin kesal padaku. Bahkan pada saat seperti inipun aku masih saja membuat Camelia kesal. Aku memang payah.

Kuhembuskan nafasku dengan berat, menyatukan tekadku dan menanyakan pertanyaan itu, "Apa benar kau mengandung anak laki-laki itu?" tanyaku.

Bukan jawaban yang kuinginkan namun bukan pula yang kubenci. Camelia menamparku dengan telak, kepalaku yang telah pusing menjadi semakin pusing dan mataku berkunang-kunang. Kupejamkan mataku dan mengetatkan rahangku, bila tidak tubuhku akan terjatuh dalam kamar ini, aku tak ingin membuat Camelia panik. Aku hanya akan mempermalukan diriku bila Camelia mengetahui betapa lemahnya sesungguhnya aku bila berhubungan dengan cinta dan perasaan.

Kuperbaiki letak kacamata yang miring, menerima dengan lapang dada semua makian kekesalan Camelia padaku. Aku pantas menerimanya, pertanyaanku sungguh merendahkan arti gadis di depanku ini.

Namaku Cong?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang