"Sebuah kata maaf cukup untuk mencerahkan hati yang mendung dan gundah." W.A.R
Bisa kukatakan upacara pernikahanku adalah sebuah upacara tersakral yang pernah kuikuti. Event organizer yang kusewa dan teman-temanku yang ikut membantu terlaksananya upacara ini dengan baik melakukan tugas mereka secara maksimal. Tahun depan, aku akan menghubungi mereka lagi untuk meminta mereka mengatur pesta pernikahanku dengan Camelia. Yah.. kali ini kami hanya menikah di depan pendeta, aku tak ingin membuat Camelia terlalu lelah dengan pesta yang pastinya akan memakan waktu sehari semalam penuh karena banyaknya tamu undangan yang harus kuundang. Aku tak ingin membahayakan kesehatan istriku. Ya.. istriku..
Kami berciuman dengan mesra di depan para undangan, tepuk tangan riuh menyambut ucapan janji setia kami. Kini Camelia telah resmi menjadi istriku, menjadi Nyonya Renatha..
"Kau adalah istriku Nyonya Renatha..." bisikku padanya.
"Dan kau adalah suamiku, Tuan William Andreas Renatha.. Kau milikku, hanya aku..." lalu tanpa kuduga Camelia mencium bibirku, tak kusangka dia akan seberani ini di muka umum. Ahh.. aku semakin cinta padanya.
Makan siang di ballroom hotel menyita waktu kami dan aku mulai kasihan melihat Camelia yang hanya bisa duduk kelelahan. Kami harus segera pulang dan beristirahat, bila terlalu kelelahan akan berpengaruh pada kandungannya. Ingin segera kuboyong istriku kerumah, memperlihatkan kejutan yang telah kusiapkan untuknya dengan bantuan Bik Rosi dan Pak Ian. Dia pasti tidak akan menyangka suaminya memiliki sisi romantis seperti ini.
Mobil kami telah sampai di halaman rumah, dengan cepat aku berlari membukakan pintu mobil untuk istriku, tak akan kubiarkan dia menginjakkan kakinya pada hari pernikahan kami. Aku akan menjadi laki-laki seperti dalam film-film romantis yang sering dia tonton di televisi.
Camelia memekik senang ketika kubopong tubuhnya dalam pangkuanku. Aku membawanya ke dalam kamar kami, membaringkan Camelia di atas ranjang yang telah di hias dan ditaburi kuntum bunga mawar merah dan putih. Camelia terlihat senang, dia menyukainya.
"Terima kasih, suamiku," bisiknya lirih. Kuciumi bibir Camelia ringan, hatiku penuh sesak dengan cinta. Ingin secepatnya kubagi perasaanku ini pada istriku.
Diatas Camelia aku merangkak dengan hati-hati, aku tak ingin menyakitinya. Saat ini adalah saat-saat rawan kehamilan Camelia dan aku harus ekstra hati-hati bila ingin bercinta dengan istriku.
"Aku tahu ini belum malam.. Tapi.. Aku sangat ingin merasakan bagaimana malam pengantin itu.. Bagaimana kalau sore pengantin??" tanyaku pada istriku. Istri yang baru kunikahi beberapa jam yang lalu.
Camelia pasti bisa merasakan tumbukan kejantananku yang telah mengeras pada perutnya, ya.. aku telah begitu mudah terangsang hanya dengan memikirkan sedikit hal mesum pada kepalaku mengenai Camelia. Hasratku begitu mudah dibangkitkan dan tubuh di bawahku ini selalu siap menerimaku.
"Tapi pakaian ini..." katanya tak berdaya. Ah.. Camelia sayang.. Apakah kau kira pakaian ini bisa menjadi penghalang penyatuan kita? Orang tuamu bahkan tak bisa, apalagi hanya kain tebal yang tak berarti apa-apa. Kau tak usah meragukan kemampuanku..
Aku tersenyum jahil memandang wajah istriku, dia pasti tahu apa yang ada dalam pikiranku sekarang karena matanya membelalak tak percaya sekaligus takjub.
"Kamu tidak akan..???" Camelia tersenyum geli mendapati pemikiranku benar adanya.
"Kenapa tidak? Hanya sekali seumur hidup.. Setelah ini kita bisa membawanya ke laundry.. Dry cleaning..." jawabku sekenanya.
Bibir kami telah menyatu bahkan sebelum Camelia mampu memberikan sanggahan lain untukku. Aku tidak menerima sanggahan saat malam pengantinku, tidak akan ada yang bisa menghalangiku untuk bercinta dengan istriku di malam sakral ini, malam yang akan selalu kami ingat hingga akhir hidup kami nanti.
Kami masih berpelukan dengan erat ketika matahari telah menyingsing tepat di atas kepala. Sudah pukul dua belas siang lebih dan kami baru saja terbangun. Sore hingga malam menuju dini hari yang penuh gairah telah menguras tenaga kami, tak pernah sebelumnya aku bercinta marathon seperti ini dengan siapapun sebelumnya. Bahkan tidak dengan mantan-mantanku, atau Clara. Tak pernah.. Hanya dengan istriku lah semuanya terasa begitu sempurna dan pantas untuk dilakukan.
Kukecup kening istriku, dia masih terlelap. Camelia pasti kelelahan, dia tersenyum dalam tidurnya, semoga dia bermimpi indah. Hari ini akan kuawali dengan mengucapkan selamat siang pada istriku, hari pertama kami menjadi pasangan suami-istri, meskipun telah satu bulan lebih kami hidup bersama. Rasanya berbeda, saat seseorang yang aku cintai telah resmi menjadi milikku, tak ada lagi rasa was-was, rasa khawatir bila dia akan meninggalkanku lagi. Setidaknya aku masih bisa mencarinya dan membujuknya pulang, karena secarik kertas akte pernikahan sangat besar kuasanya.
Di sampingku Camelia mulai membuka matanya, mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya, lalu dia tersenyum lemah padaku.
"Selamat siang, istriku," kataku, "Kau terlihat cantik hari ini, sudahkah kukatakan sebelumnya?"
Camelia mencoel hidungku lalu kami pun berciuman, tak ingin rasanya turun dari ranjang ini seharian. Bik Rosi bisa membawakan makanan ke kamar dan kami akan menghabiskan waktu seperti ini tanpa bosan.
"Camelia.. Aku mencintaimu.. Sangat..." Lalu kukecup bibir istriku lagi. Kami berciuman lama, berpelukan seperti itu, seolah tak akan ada yang mampu memisahkan kami lagi. Selamanya..
~*~*~*~*~
Empat tahun kemudian..
"Liam.. Kamu dimana? Duh anak kecil ini baru bisa lari kenceng langsung deh nyelonong kesana-kemari ngilang," decak istriku di lobi hotel. Kami baru saja check in di sebuah hotel di Bandung, aku sedang mengikuti sebuah seminar dan Camelia beserta Liam kecil mengikutiku. Haha.. aku tak akan bisa lepas meski sekejap pun dari mereka.
Tapi kemudian mataku menyipit demi melihat seorang pria yang telah lama tak kulihat menggendong anakku menghampiri Camelia. Setan!! Bocah tengik itu, apa yang dia lakukan disini?!!
Kulihat Edo, bekas pacar Camelia dengan senyumnya yang dibuat terlalu manis sedang menggendong Liam kehadapan Camelia. Mau apa dia mendekati anakku?? Jangan katakan dia masih ingin mendekati Camelia?? Dia sudah resmi jadi istriku, jangan coba-coba kau dekati, ya!!
Mereka berbincang-bincang singkat, Edo melambaikan tangannya padaku sebelum berbalik ke tempat darimana dia datang. Baguss.. pergilah jauh-jauh, jangan dekati keluargaku lagi. Shhh...
"Kenapa dia bisa ada disini?" tanyaku pada Camelia.
Dia tersenyum sembari menggandeng tangan Liam mendekatiku, kami sedang duduk-duduk di restoran dan memesan secangkir kopi peneman sore hari, sebelum malam nanti menghadiri acara makan malam bersama keluarga para dokter. Camelia bisa menangkap rasa cemburuku yang tak akan pernah hilang pada laki-laki itu. Dia tahu mengapa aku membencinya, kuraba hidungku yang masih menyisakan sedikit rasa nyeri karena pukulannya dulu yang meretakkan tulang hidungku. Bocah tengik!!
"Shh.. Kamu ini.. Liam, tuh lihat Papa mu masih saja cemburu. Papamu kekanak-kanakan, kan?" tanya Camelia balik pada Liam. Hah.. anak kecil mana mungkin mengerti apa itu cemburu. Hahh.. sudahlah.. mungkin aku terlalu berlebihan.
Liam lalu berlari ke pangkuanku, memeluk tubuhku dengan manja. Kami lalu duduk-duduk di restoran menikmati suasana sore yang nyaman. Sesekali celoteh Liam akan mewarnai hari kami seperti sekarang ini. Ahh.. rasanya hidupku penuh dengan kebahagiaan, semoga bertahan lama, hingga kami tua nanti dan ajal kemudian menjemput.
~*~*~*The End*~*~*~
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Cong?!
RomanceWilliam Andreas Renatha, seorang dokter spesialis muda yang cukup sukses dalam pekerjaannya harus ikut terlibat dalam hubungan rumit keluarga kakak iparnya. Pria yang menikahi kakak perempuan satu-satunya Liam-begitu dia disapa- memiliki anak peremp...