"Hari pertama bersama yang tercinta, tiada kebahagiaan melebihi ini." W.A.R
Kami sedang menikmati santap pagi di sebuah rumah makan langgananku. Biasanya bila menjamu rekan dokter atau profesor dari luar kota, aku akan membawa mereka ke rumah makan ini. Makanannya lengkap, dari pilihan makanan Indonesia hingga Continental breakfast, seperti yang bisa dinikmati di hotel-hotel.
Camelia sedang menikmati buburnya di meja dan aku memilihkan buah-buahan dan roti manis untuknya. Segelas cocktail buah sebagai makanan pencuci mulut juga kusendokkan untuknya. Camelia harus mulai mengatur pola makannya agar tak kekurangan nutrisi untuk dirinya dan bayi kami. Ahh.. hatiku selalu penuh saat menyebut anak kami, rasanya semangatku telah diperbaharui. Penderitaan sebulan ini tak berarti, karena dalam sehari semuanya telah berganti dengan kebahagiaan.
"Jangan disisakan, kau perlu semua vitamin dan gizi untuk tubuhmu dan anak kita. Aku akan meminta dokter Umar memberikan vitamin-vitamin dan suplemen yang kau perlukan selama masa hamil mudamu, agar kau bisa melewatinya tanpa terlalu banyak keluhan. Aku ingin kau tinggal bersamaku, Lia, agar aku bisa melihatmu, bisa menjagamu, aku tak akan membiarkan kau kembali ke kosmu lagi. Kau bisa mengajak ibumu ke rumah bila kita sudah mendapat restunya, tapi untuk sementara aku ingin kau tinggal bersamaku, nanti sore seorang pengurus rumah tangga akan datang, jadi kau tidak perlu bekerja keras di rumah. Dan kau juga harus mengikuti semua petunjuk-petunjukku tadi, jangan banyak bergerak, jangan mengangkat beban berat, jangan..." kata-kataku belum selesai ketika Camelia dengan gemas memotong ucapanku.
"Iya Pak dokter... Aku tahu.. Kamu tak usah mengulanginya puluhan kali. Kamu terlalu khawatir, aku baik-baik saja. Aku rasa tubuhku sudah baikan sejak..." ujarnya berhenti tepat ketika aku mulai menangkap maksud perkataannya. Dahiku berkerut memikirkan bila Camelia sedang bercanda denganku, hal yang baru.. Ah.. mungkin karena dia mulai merasa nyaman berada di dekatku maka Camelia mulai bisa melemparkan humor yang bisa kami tertawai.
"Sejak apa?" tanyaku pura-pura tak mengerti. Pipi calon istriku ini merona merah, dia terjebak dengan leluconnya sendiri, dan bila aku tahu wajahnya akan seperti ini setiap dia merona merah, maka aku rasa aku akan sangat senang untuk menggodanya seperti ini setiap saat.
"Tak usah dipikirkan, lupakan saja bila kamu tidak mengerti," jawabnya sebal. Haha.. Camelia.. mengapa kau sudah menyerah?? Ahh.. Rasanya aku harus mengajarimu bagaimana caranya membuat lelucon dan bertahan dengan leluconmu meskipun orang-orang tidak menertawakannya.
"Ayo minumlah jusmu," kataku setelah mencuri sebuah ciuman pada pipi Camelia. Dia tentu tak menyadari mengapa aku melakukannya, lalu pipinya semakin merah dan panas. Dia menunduk malu dengan senyumnya.
Setelah makan pagi kami, aku membawa mobil menuju rumah Camelia untuk bertemu dengan ibunya. Nampak mobil-mobil ramai di luar tembok rumahnya. Bisa kukenali mobil Koh Franz disana dan mobil lain yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ada apa di rumah ini?
Kugenggam tangan Camelia sebelum kami turun dari mobil, kuyakinkan dia bahwa kami akan menjalaninya bersama. Kuyakinkan dia bahwa aku tak akan pernah meninggalkannya apapun keputusan ibunya dan diapun meyakinkanku bahwa tak ada yang akan mampu memisahkan kami lagi.
Kami bergandengan tangan menuju rumah Camelia dengan berjalan kaki. Di teras rumah Camelia begitu gelisah menyadari rumahnya ramai dan melihat kakaknya disana, kakak perempuannya yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Liam.. Ada apa ya? Hatiku jadi tidak enak begini. Apakah Mami baik-baik saja? Aku harus melihat Mami..." tanyanya khawatir. Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi, semoga bukan hal buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Cong?!
RomanceWilliam Andreas Renatha, seorang dokter spesialis muda yang cukup sukses dalam pekerjaannya harus ikut terlibat dalam hubungan rumit keluarga kakak iparnya. Pria yang menikahi kakak perempuan satu-satunya Liam-begitu dia disapa- memiliki anak peremp...