🌃╏ location unknown

7 3 0
                                    

•••

“Bang, Min.” panggil Nayoung pada kakaknya yang tengah menyiapkan sarapan mereka.

Keduanya, memang sudah terbiasa ditinggal berpergian jauh oleh orang tua mereka. Jadi, Seungmin sebagai orang tertua yang perlu menjaga Nayoung, adiknya.

“Bang Min sama kak Onda pacaran, 'kan?”

Seungmin meliriknya sekilas. “Kenapa?”

“Gimana rasanya suka sama orang?”

Seungmin berbalik badan, lalu menuangkan nasi goreng buatannya di dua piring yang tersedia di sana. Lalu, keduanya mulai makan bersama.

“Rasanya, susah di deskripsikan sama kata-kata. Cuma bisa dirasain sendiri.” sahut Seungmin, membuat Nayoung mengerucutkan bibirnya.

“Perasaan apa gitu kek, kayak seneng atau apa gitu?”

“Bahagia, kalo bisa liat dia senyum.”

Nayoung tersenyum tertahan. “Tulus banget, abang gue.” kemudian gadis itu terdiam, teringat akan ucapan Wonjin waktu itu.

Senyum lo bikin gue bahagia, Nay.”

“Kenapa nanya begitu? Lagi suka cowok?” tanya Seungmin tenang, meski ini pertama kalinya Nayoung kepo dengan masalah itu, tapi dia tak masalah jika sang adik mulai mengenal dunia percintaan.

Nayoung spontan menggeleng. “Enggak, cuma penasaran aja. Kapan-kapan, kak Onda ajak ke sini lagi, oke.”

“Oh ya bang,” Seungmin kembali mendongak saat mendengar suara Nayoung.

“Menurut abang, kalo cowok yang selalu ngejar cewek tanpa nyerah, bahkan udah berapa kali di respon kasar sama cewek, dia tetep ngejar. Itu cuma main-main atau... tulus?” Nayoung terdiam, dirinya seolah dibawa kembali, dimana dia yang selalu memperlakukan Wonjin dengan kasar, tapi cowok itu tetap memilih sabar, walaupun Nayoung tahu, ada kalanya perkataannya menyakiti hati Wonjin.

“Gue tebak, pasti cowok yang ngasih lo boba waktu itu?”

Nayoung tersentak. “Sok tau!” sahutnya.

“Gue gak mau ngambil kesimpulan kilat, lo buktiin sendiri aja. Walaupun akhirnya gak sesuai, seenggaknya lo bisa dapet pelajaran dari itu,” Seungmin meletakan sendok makannya. “Satu pesan gue, jangan nyesel kalo akhirnya lo mulai ngerasain perasaan suka pas dia udah nyerah.”

•••

“Nay, lo kapan buka hati buat gue?”

Nayoung meliriknya malas. Kembali lagi, kebiasaan Wonjin yang menganggu ketenangannya, bahkan sampai ke perpustakaan pun Wonjin mengikutinya. “Gak tau.” sahut Nayoung, tanpa mau mengalihkan pandangannya dari buku bacaannya.

“Oke, gue tunggu. Dan satu hal yang perlu lo tau, gue gak akan berubah, apapun yang terjadi.” kata Wonjin, sukses membuat manik mata Nayoung sedikit berpaling dari buku yang ia baca.

“Jangan berharap lebih.” ucap Nayoung seperti memperingati.

Wonjin terkekeh. “Gue sendiri yang maunya berharap lebih, karena apa? Karena gue tau, akhirnya gak bakal sia-sia.”

Cukup, Nayoung tak bisa melanjutkan kegiatan membacanya. Dia menatap Wonjin, dan dibalas tatapan teduh dari cowok itu yang membuat Nayoung terdiam beberapa saat merasakan desiran darahnya terasa aneh

“Tapi lo bisa terluka,” sahut Nayoung tanpa sadar mengungkapkan isi hatinya, dengan tatapan kosong melihat Wonjin.

Wonjin itu mengulum senyumnya. “Gue suka cara lo peduli.”

Nayoung tersadar, kemudian menunduk membuat rambutnya tergerai menutupi kedua sisi wajahnya. Wonjin menundukkan kepalanya, lalu menyentuh untaian rambut Nayoung, kemudian jari-jarinya bergerak menyelipkan rambut gadis itu ke belakang telinganya.

“Gue bilang gitu, buat diri gue sendiri. Gue gak mau kepikiran karena kesalahan yang gue buat tanpa sengaja, bahkan kesalahan yang terjadi bukan karena kemauan gue.” kata Nayoung, kembali mendongak, membuat Wonjin menarik kembali tangannya.

“Lo gak bikin kesalahan, dan gue juga gak akan nyalahin lo kalo akhirnya memang gak bisa.” sahut Wonjin, terdengar lembut.

Nayoung membuang nafasnya pelan. “Tapi, lo gak akan nyerah?” tanya Nayoung pelan.

Alis Wonjin terangkat satu. “Secara gak langsung lo ngasih harapan lebih,” cowok itu terkekeh. “Gue tau, manusia cepat berubah-ubah, tapi gue mau buktiin kalo kalimat itu gak berlaku sama gue.”

•••

“Nay, lo tau? Tiap bareng lo, gue gak bisa ngenalin posisi perasaan gue sendiri. Kadang perasaan gue di posisi bahagia, tapi juga sedih.”

Nayoung sudah biasa, dengan kehadiran Wonjin yang tiba-tiba seperti ini. Di keramaian koridor, keduanya tampak tak terganggu. Nayoung mengeratkan tali tasnya yang berada di punggung, diam-diam dia menunggu kelanjutan kalimat Wonjin.

“Bahagia bisa deket lo, sedih karena belum bisa masuk ke hati lo.” lanjutnya, kemudian cowok itu terkekeh. “Ternyata bener ya, gosip satu sekolah kalo hati Kim Nayoung itu, susah buat ditaklukkan.”

Nayoung sedikit tersenyum geli mendengarnya, tapi dia tetap memilih diam dan terus mendengarkan celotehan Wonjin yang dulunya terasa memuakkan.

“Awal pertama masuk. Gue gak tertarik tau sama lo,” Wonjin terkekeh sebentar. “Lagi pula, yang naksir lo banyak, bahkan sampe sekarang kayaknya.” kata Wonjin sambil menarik nafas, seperti tak bisa menerima fakta bahwa disekolah ini hampir 7 dari 10 cowok menyukai, atau mengagumi gadis cantik bertubuh mungil itu.

“Tapi, perasaan gue berubah, sejak liat lo lagi.”

“Gue? Gue ngapain?”

“Lo hampir ngorbanin nyawa buat seseorang, yang bahkan lo gak kenal. Lo nyelamatin kakak gue, walaupun akhirnya dia gak bisa bertahan. Seenggaknya, gue masih bisa liat dia buat yang terkahir kalinya.”

Nayoung terdiam. “Gue gak inget.” sahut Nayoung, terdengar jelas nada bersalahnya yang membuat senyum kecil Wonjin terbit.

“Gapapa, lagian udah lama juga, wajar lo lupa. Tapi, itu mustahil buat gue lupain sampe sekarang. Pas masuk SMA, gue bersyukur bisa nemuin lo, awalnya gue cuma mau bilang makasih, tapi gak bisa, gue langsung dibikin candu sama senyum lo yang mirip sama kak Yeonwoo.”

Wonjin tersenyum kecut. “Gue bisa ceritain lebih detail lagi kalo lo mau, gue—” pandangan Wonjin beralih pada gadis disampingnya yang tersenyum, sampai-sampai kedua matanya menyipit.

“Ngapain sih?” tanya Wonjin seraya menahan senyumnya.

Nayoung menormalkan raut wajahnya. “Gapapa, cuma pengen senyum aja.” sahutnya, lalu berjalan lebih dulu, agar Wonjin tidak bisa melihat senyum malu-malunya.

Wonjin berdecak gemas. “Gemesin banget, pen peluk.”

•••

Dear Wonjin | Ham WonjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang