23. Worried

4.2K 591 0
                                    

Vote dulu doooong gaes :)

----

BRAAAK!

Pangeran memukul meja kerjanya sangat keras. Sampai dua prajurit kepercayaannya terlonjak kaget. Seumur-umur tidak pernah melihat Pangeran bijaksana itu memuntahkan amarahnya terang-terangan. Pangeran selalu bisa mengatasi situasi terdesak, termasuk ketika perang yang hampir menjadi kekalahan. 

Tapi amarah itu tidak segan-segan dimuntahkan jika berurusan dengan wanitanya. Meski berkali-kali Anne mengatakan dengan tegas tentang penolakannya. Pangeran selalu menganggap Anne adalah wanitanya. Ia hanya perlu berjuang lebih keras untuk mendapatkan hati wanitanya itu.

"Bagaimana bisa sampai seminggu ini Kalian tidak mendapatkan informasi tentangnya?!" tanya Pangeran tidak hentinya memarahi dua prajurit yang kini menunduk takut.

"Apa menangani hal ini sesulit itu?! Apa lebih sulit dari mengetahui musuh negara?!" 

Dua prajurit itu bungkam. Tidak berani bersuara sekedar menyela. Bukan tidak bekerja lebih giat, Mereka berdua bahkan merelakan waktu tidurnya ketika mendapat petunjuk demi petunjuk. 

Sudah seminggu berlalu juga Anne berada dalam masa kritis dan kini mendapat perawatan terbaik di Istana. Dokter yang hanya melayani keluarga kerajaan kini turun tangan untuk mengobati Anne yang bahkan belum resmi menjadi keluarga kerajaan.

Apa yang tidak mungkin jika Raja sudah mentitahkan sebuah perintah? Dan memberikan perintah pada Dokter untuk menangani Anne langsung adalah hal mudah. 

"Cari. Sampai. Ketemu!" perintah Pangeran tanpa bantahan. Sorot matanya menajam dan membara kobaran api yang siap meledak. Pangeran benar-benar marah dengan apa yang menimpa Anne.

"Baik, Yang Mulia."

Dua Prajurit itu pun mengundurkan diri. Siap melaksanakan tugas istimewa itu.  Pangeran kembali menjatuhkan bokoknya di kursi kerjanya. Menggosok dagunya dan berpikir keras. Insiden mengerikan ini sudah menyebar hampir ke seluruh bangsawan terkhusus orang-orang yang hadir di pesta seminggu lalu.

Karena itu pula Istana memperketat penjagaan. Termasuk di depan kamar Anne. Pangeran mengusap wajahnya gusar. Tidak ada celah untuk mencurigai orang-orang yang menjadi dalang di baliknya.

Tentu saja keluarga kerajaan memiliki banyak musuh. Tapi tidak dengan bangsawan Earl yang memilih jalur aman. Bahkan tidak banyak bangsawan yang melakukan kerjasama dengan Tuan Earl. Keluarga ini sangat aman dari kata musuh.

Pangeran masih ingat dengan jelas penampilan cantik Anne ketika menghadiri pesta malam itu. Meski gaun yang dikenakannya membuat hati Pangeran teriris. Dengan lantang Anne menolak lamarannya.

Dengan jelas pula Ia mengingat memandang wajah Anne dari jarak sedekat itu ketika di ruang dansa. Memeluk Anne erat seakan tidak ingin melepaskannya. Pembicaraan yang berakhir dengan kecupan mengejutkan. Bahkan senyum tulus Anne karena dirinya sudah menyelamatkan dari malu karena tidak bisa berdansa.

Setelah itu berakhir dengan penampilan Anne yang dilumuri darah. Wajah datar tanpa ekspresi itu mengatakan dengan tegas alasan dari tindakan Anne menghindarinya. Gaun putih bersih itu menjadi lukisan darah dalam waktu singkat. Hati Pangeran seakan teremas begitu kuat melihat fakta yang terjadi.

"Pangeran ...," panggil seseornag mengintrupsi lamunan Pangeran.

Pangeran menoleh dan mendapti seorang Pria yang membuatnya segan. Pria itu bekerja untuk melindunginya, namun Pangeran merasa sangat bersalah. Pria itu Kakak dari wanitanya. Kakak yang harus Ia hormati sebagai keluarga wanitanya. Tapi dengan sembrononya Anne terluka.

"Ya, Morgan...," balas Pangeran dan matanya terfokus kembali pada berkas-berkas di mejanya.

"Ijinkan Saya untuk mencari tahu penyerangan itu," pinta Morgan sungguh-sungguh.

"Tidak. Kau tidak akan bisa bekerja dengan baik jika menyangkut keluarga. Aku sudah menyuruh dua prajurit kepercayaan," tolak Pangeran mentah-mentah.

Bukan tanpa alasan Pangeran menolak Morgan bergabung dalam pencarian ini. Karena Ia paham betul tipikal Pria itu yang tidak memandang bulu jika berkaitan dengan keluarganya.

"Tap -," sanggahnya terpotong.

"Aku mentitahkan mu untuk menjaga keselamatan Lady Anne secara penuh, Morgan. Jangan membantah!" ucap Pangeran tegas tanpa penolakan.

"Bukankah kesempatanmu untuk mengawasi pergerakan di sekitar Lady Anne? Saat ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan adikmu," ujar Pangeran.

Pangeran bangkit dan membereskan berkasnya asal. Ia menatap Morgan yang hanya diam sedari tadi. wajar saja, Morgan ikut terluka karena adik satu-satunya kini hanya terbaring tidak berdaya.

"Ayo, Aku ingin melihat keadaan Lady Anne," ajak Pangeran dan berjalan lebih dulu menuju kamar Anne yang terletak tidak jauh dari kamarnya.

Pangeran sengaja menempatkan Anne di dekat kamarnya agar Ia lebih mudah mengawasi. Mereka  pun pergi ke ruangan di mana Anne berada.

Pelayan Pribadi Anne membungkuk hormat dan memilih menyingkir dari ruangan tuannya. Membiarkan dua pria itu melihat Anne dalam jarak yang lebih dekat. Anne terbaring dengan kepala yang terbelit perban. Wajahnya pucat pasi dengan mata terpejam yang menenangkan. 

Pangeran duduk di samping Anne. Menggenggam lembut jemarinya yang terluka akibat perkelahian. Menatap lekat  Anne yang tertidur sangat tenang. 

"Maafkan Aku Morgan," ucap Pangeran penuh penyesalan. Ia merasa sangat bersalah karena membuat Anne terluka hingga sakarat. 

Morgan diam. Ia ingin marah layaknya seorang Kakak yang tidak bisa melihat adiknya terluka. Ia ingin melayangkan tinjunya layaknya Kakak yang membalas lara adiknya. Ia ingin melakukan apapun demi adiknya tapi tidak bisa. Ia sadar siapapun yang berurusan dengan kerajaan akan mendapat hal yang sama. 

Mungkin saja bukan Anne waktu itu. Wanita lain akan mengalami hal yang sama. Mungkin saja kalau Anne tidak bisa bela diri, wanita itu akan mati di tempat. Meski Morgan tidak mengetahui Adiknya belajar dari mana, setidaknya bekal bela diri yang hebat itu menolongnya. 

"A ... yah," gumam Anne seketika.

Pangeran dan Morgan memasang wajah terkejut. Gumaman serak Anne mengagetkan dua manusia di sana. Suara serak yang terdengar lemah itu membuat orang-orang terpaku. Anne masih memejamkan mata dengan air mata yang keluar tanpa seizinnya.

"A ... yah," gumam Anne lagi kini dengan jelas air matanya tumpah meski mata masih terpejam.

"AYAH!" teriak Anne dan membuka matanya seketika.

THE SECOND MISSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang