Waktu yang tadinya begitu kunikmati untuk berdua saja dengan Revan, ternyata sudah berakhir. Dan pada akhirnya, kami makan siang bertiga.
Steffi, wanita yang beberapa menit lalu datang menghampiri kami, tak mau mengalah dan meninggalkan kami berdua saja. Wanita yang mengaku teman akrab Revan itu malah meminta dengan memohon agar ia bisa duduk bersama kami.
Risih, tentu saja. Tidak nyaman, pasti. Tapi berbagai cara dan alasan yang Revan berikan tak diindahkan wanita itu. Ia ngotot harus makan bersama kami, dengan dalih jika ia sangat merindukan Revan.
Jadi, mau bagaimana lagi? Walau sedikit tidak nyaman, aku memilih untuk mengalah saja. Dan kini, ia yang selalu menguasai pembicaraan dengan Revan. Tak pernah mau mengijinkan calon suamiku itu untuk bersuara. Walau sejak tadi Revan terlihat ingin menyuarakan isi pikirannya.
Aku mendesah pendek, memilih untuk bangkit dan menuju toilet. Berencana untuk berlama-lama di sana, agar aku tak melihat sikap Steffi yang seolah-olah menjadi orang yang paling penting di antara kami.
Duduk di toilet, aku memilih untuk memainkan ponsel. Menghilangkan jenuh di dalam hati. Bahkan terbersit dalam pikiranku untuk pergi ke kantor. Perihal bertemu dengan MUA dan mencari gaun pengantin, bisa kami lakukan esok hari. Tapi aku pikir tindakan itu akan menyakiti perasaan Revan. Walau sebenarnya kami tidak punya waktu lagi untuk mengurus hal itu. Karena jadwalku selanjutnya di kantor sudah menunggu.
Entah berapa lama aku di toilet, Revan ternyata mengirimkan pesan untukku. Pesan yang berisikan ajakan untuk pulang.
Kuhela nafas pendek. Berpikir positif jika Steffi mungkin sudah pergi. Tapi ternyata, wanita itu masih saja duduk bersama Revan. Dan masih tampak mengoceh, walau Revan terkesan mengabaikan.
"Eh, dia itu calon istri kamu ya? Wanita yang kamu lamar beberapa waktu lalu?"
Aku mendengar Steffi melontarkan kalimat itu.
"Iya. Dan kami akan segera menikah." Revan menjawabnya dengan begitu santai. Sementara aku memilih untuk memelankan langkah, mendengar sejauh mana mereka akan membahas hal itu.
"Kapan? Dimana? Hei, jangan sampai lupa untuk mengundangku, ya. Aku pasti akan datang."
"Kami tidak mengadakan pesta besar. Hanya keluarga saja yang diundang. Maaf," jawab Revan lagi.
"Yah, kok gitu sih? Padahal kalau kamu bikin pesta besar, pasti akan sangat meriah. Banyak yang datang, bahkan dari kalangan artis juga. Udah pasti amplopnya juga tebal-tebal," seru Steffi lagi.
"Tujuan kami bukan itu. Kami hanya ingin pernikahan ini lebih intim. Itu aja. Kalau soal amplop, tujuan kami menikah bukan untuk mengumpulkan isi amplop sebanyak-banyaknya."
Tepat saat Revan mengatakan hal itu, aku memilih untuk segera duduk di kursi yang sebelumnya aku tempati. Dan Revan tersenyum melihat kehadiranku kembali.
"Kalau begitu, kami pergi dulu, ya. Masih banyak hal lain yang harus kami urus. Permisi." Revan bangkit dari duduknya, mengulurkan tangan untuk mengajakku pergi. Dan aku semakin menyadari, jika ia tak begitu akrab dengan wanita itu. Hanya Steffi yang beranggapan demikian.
"Kamu mau langsung ke kantor, apa masih sempat bertemu MUA?"
Aku melirik jam tanganku. "Langsung ke kantor aja. Aku masih ada berkas yang harus diurus sebelum pertemuan nanti."
"Tak perlu merasa tidak nyaman karena kehadiran Steffi tadi. Kami tak terlalu akrab seperti yang dia sampaikan tadi. Hanya sekedar kenal karena pekerjaan," jelas Revan tanpa kuminta. Bahkan dugaannya itu sama sekali tak terjadi. Bukan aku tidak nyaman dengan Revan. Hanya tidak menginginkan kehadiran wanita itu di antara kami saat makan tadi.
"Aku tidak apa-apa. Hanya tidak nyaman saat dia mengusik acara makan kita," jawabku jujur.
Revan mengulurkan tangan dan menggenggam jemariku. Mengembalikan kenyamanan dalam diriku.
"Nanti sore aku jemput, ya?"
Aku mengangguk. Aku tak punya pilihan lain. Dan menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya, membuatku semakin mengenali dirinya dan sifatnya. Meski dia adalah adik sahabatku, belum tentu aku tau semua sifat dia, kan? Kami hanya beberapa kali bertemu. Bahkan, aku lebih sering bertemu Rehan, saudara kembarnya dibanding dengan dia. Dan sama sekali tak menduga jika akhirnya akan berjodoh dengan Revan.
Aku melangkah dengan begitu yakin, memasuki gedung hingga ke ruangan ku. Disana ada Andra yang sedang sibuk sendiri dengan berbagai berkas. Aku tak bisa menahan senyum saat melihatnya seperti ini. Dia yang selalu bisa aku andalkan dalam segala situasi.
"Ibu udah datang?" tanyanya saat menyadari kehadiranku.
"Iya. Bagaimana dengan pertemuan nanti? Semua berkasnya sudah siap?"
Andra mengangguk. "Iya, Bu. Ini sudah saya siapkan semuanya." Andra menunjuk tumpukan map berwarna biru, yang terdiri dari beberapa map. "Saya hanya sedang memeriksa berkas ini, yang sepertinya salah sasaran."
Aku mengerutkan kening. "Salah sasaran?"
"Iya, Bu. Ini bukan berisikan tentang pekerjaan atau urusan kantor. Saya bahkan bingung dari mana datangnya berkas ini."
"Kamu dapat dari mana?" Kulangkahkan kaki menuju Andra yang duduk di salah satu sofa. Ikut duduk dan memeriksa isi berkas yang dia katakan sebelumnya.
Aku tidak mengerti, berkas apa yang sedang kuperiksa ini. Isinya hanyalah sebuah artikel yang dicetak sampai beberapa lembar. Dan isi artikelnya hanyalah tentang rencana pembangunan ibukota demi mengatasi kebanjiran. Aku memeriksanya sampai halaman terakhir. Dan akhirnya menemukan apa yang mungkin sedang berusaha disampaikan oleh pengirimnya kepadaku atau kepada siapapun yang ia tuju.
"Bagaimana kehidupan kalian? Sepertinya sangat baik-baik saja. Bahkan sedang merencanakan pernikahan. Aku tau itu, karena aku bisa melihat semuanya.
Oh iya, aku pasti akan menantikan undangan. Aku diundang, kan?
Aku harap kalian bahagia. Sama sepertiku yang terlalu bahagia disini."
"Kamu dapat map ini dari mana?" Aku bertanya pada Andra.
"Tadi ada staff HRD yang mengantarkan sama saya, Bu. Saya tanya dari mana, dia hanya bilang kalau ada yang mengirimnya, tapi tak tau dari siapa. Tak ada nama pengirim."
Bolak-balik aku memeriksa keseluruhan isi map. Andra pun membantuku. Tapi sama sekali tak menemukan apa yang sedang kucari. Tapi aku merasa, jika ini adalah sebuah ancaman untukku. Ancaman untuk pernikahanku dengan Revan.
Kuhela nafas, mencoba menenangkan diri. Aku harus mengikuti pertemuan beberapa saat lagi. Dan aku harus bisa memfokuskan pikiran sepenuhnya untuk pertemuan nanti. Pertemuan ini sangat penting untukku. Dan surat yang tak bertuan ini tak boleh mengacaukan semuanya.
"Ibu baik-baik saja? Jika memang sedang tidak sehat, saya bisa menangani ini semua."
Aku tau Andra memang sellau bisa diandalkan. Tapi bukan berarti aku lepas tangan dari semua pekerjaanku dan meminta Andra untuk melakukannya, kan? Aku harus bisa profesional.
"Aku tidak apa, Andra. Siapkan ruangan pertemuan sekarang. Setelah itu, sambut kedatangan tamu penting kita."
Andra mengangguk, meski aku tau ia sedikit mengkhawatirkanku.
"Pergilah, Andra. Aku baik-baik saja," ulangku saat Andra berbalik untuk memastikan keadaanku.
Ya, aku baik-baik saja. Aku bisa mengendalikan diriku sendiri.
Tbc
Vote dan komen!
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline Nikah
ChickLitSeorang gadis perawan tiga puluh dua tahun yang dikejar deadline menikah yang dibuat oleh sang ibu. Stella Azaria, nama gadis itu. Di saat sang ibu semakin mendesak Stella untuk segera menikah, di saat itu juga Revan muncul lagi dalam kehidupannya...