Deadline - 8

433 57 0
                                    

Aku benar-benar lelah. Tanpa sadar sudah terlelap entah berapa lama. Saat aku membuka mata, ternyata sudah gelap. Dan aku lihat, jam sudah menunjuk angka delapan.

Kuraih ponsel di nakas, ada beberapa pesan yang masuk. Beberapa di antaranya dari Revan yang menanyakan keadaanku dan memintaku untuk istirahat. Kemudian dari Andra yang memastikan ulang tujuan proposal yang aku minta untuk dibuatkan olehnya. Dan satu lagi yang tidak kuketahui entah siapa pengirimnya.

"Aku pikir kamu sudah berpikir ulang untuk melepaskan Revan."

Demikian isi pesannya.

Tanpa berpikir ulang pun, aku bisa tau siapa pengirim pesan itu. Yang aku bingungkan, bagaimana dia mendapatkan semua informasi tentang diriku?

Apakah dia seorang stalker?

Aku benar-benar terganggu akan kelakuannya. Melebihi saat fans Revan yang ingin mengetahui lebih banyak hal tentang diriku. Ini lebih menakutkan lagi. Bahkan bernada ancaman.

Tak berniat untuk membalasnya, aku hanya meletakkan kembali ponselku di nakas. Niat untuk membalas pesan Revan dan Andra pun menghilang. Yang ingin aku lakukan saat ini hanya mengganti pakaianku dan mengisi perut yang kosong.

Ya, aku bahkan belum mengganti pakaianku sebelum tertidur tadi. Niatan mama yang ingin bertanya banyak hal pun tak terwujud saat melihat ekspresiku yang tak ingin diganggu. Jadilah mama belum mengetahui apapun yang terjadi hari ini.

Usai mengenakan piyama, aku memilih untuk keluar. Satu tujuan yang pasti adalah dapur. Perutku benar-benar butuh bantuan.

Bik Emi masih berada di dapur saat aku masuk ke sana. Wanita paruh baya itu pun masih menikmati makan malamnya.

"Mau makan juga, Mbak?" tanya bik Emi saat menyadari kehadiranku.

Aku hanya mengangguk, tak bersuara. Karena perhatianku kini beralih pada layar televisi yang sedang menayangkan berita. Dan entah kebetulan seperti apa, berita itu menayangkan tentang kecelakaan kecil yang kami alami siang tadi.

Tanpa berniat mengambilkan makan malamku, aku malah duduk di salah satu kursi dengan pandangan yang tak lepas dari layar televisi.

Aku juga tidak mengerti, dari mana asal kamera yang merekam kejadian itu. Sepertinya tadi tidak ada kamera di sana.

Ah, menjadi figur publik memang bukan hal yang mudah. Bagaimana mungkin dua puluh empat jam setiap harinya selalu diikuti kamera? Benar-benar tak ada privasi.

"Ini, Mbak. Silahkan," kata bik Emi yang entah sejak kapan langsung menyediakannya untukku.

Aku melirik sesaat pada wanita yang sudah hampir tiga puluh tahun mengabdi untuk keluargaku. Tersenyum tipis untuk menggantikan kata terima kasih untuknya. Kehadirannya memang sangat kami syukuri. Tidak mudah untuk menemukan seorang asisten rumah tangga yang cocok.

Bisa kulihat, bik Emi pun meneliti keadaanku saat aku mulai menyantap makan malamku. "Mbak baik-baik saja?" tanyanya pelan. Kekhawatiran dalam dirinya tak bisa kuabaikan. Seolah dia adalah ibuku, yang selalu memperhatikan keadaanku.

"Aku baik-baik saja, Bik. Tidak perlu mengkhawatirkanku," jawabku.

"Syukurlah, Mbak. Dari siang tadi, Bibik sudah melihat berita itu. Jadi Bibik belum bisa bernafas lega sebelum melihat Mbak pulang dalam keadaan sehat," lanjutnya.

Kuhentikan aksi tangan yang akan menyendokkan sayur ke dalam mulut. Menatap dalam pada bik Emi yang tak melepaskan pandangan dariku.

"Apa mama tau hal ini, Bik?" tanyaku pelan. Berharap mama tidak muncul tiba-tiba dan mendengar pembicaraan kami.

Deadline NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang