Deadline - 12

208 31 0
                                    

Pertemuan yang sudah aku rencanakan dengan sangat baik akhirnya bisa berjalan lancar. Walau tidak sebaik yang kubayangkan sebelumnya. Nyatanya, surat yang tadi aku dapatkan bisa mengusik fokusku.

Tapi aku tetap bisa bernafas lega, saat semuanya sudah berjalan dengan baik. Tentu dengan andil Andra juga di dalamnya. Tidak, Andra-lah yang lebih banyak berperan.

"Selanjutnya, tolong kamu bereskan, Andra. Aku masih ada urusan," pintaku pada Andra.

Pria itu hanya menurut, tak ada bantahan darinya. Tapi ia tak bisa menyembunyikan, jika sorot matanya sedikit menunjukkan rasa kasihan padaku. Kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya.

Aku segera melangkah menuju basement. Revan mengirimkan pesan padaku jika ia sudah menunggu di sana.

Pria itu tersenyum menyambut kehadiranku. Namun seketika berubah menjadi khawatir, karena aku sendiri tak bisa menyembunyikan kegelisahanku.

"Ada apa? Apa pertemuannya tidak berjalan dengan baik?" tanyanya mengerti raut wajahku.

"Aku hanya mendapat pesan yang sedikit membingungkan. Aku tidak tau siapa pengirimnya, dan apa tujuannya."

"Sini, coba." Revan mengulurkan tangan, meminta pesan yang baru saja aku bicarakan.

Ku buka tas, memberikan map yang ku maksud. Aku memang membawanya ke dalam tasku, sekedar untuk mencari tau siapa pengirim pesan itu. Meski kata-kata di dalamnya tak menunjukkan kebencian sama sekali, entah mengapa aku merasa jika pesan ini menyiratkan ancaman.

Sebelum Revan memeriksa isi map itu, lebih dulu aku mengajaknya masuk ke mobil. Tidak nyaman dipandangi banyak orang seperti ini.

Revan memeriksa isi map secara keseluruhan setelah duduk dengan sempurna di kursi kemudi. Wajahnya menunjukkan kebingungan, karena apa yang ia temui di sana tak seperti yang baru saja aku sampaikan padanya.

Aku pun segera membalik kertas hingga menunjukkan halaman terakhir berisi pesan yang aku maksud. Ia membacanya hingga tiga kali, lalu menatapku.

"Ini sama sekali tidak membingungkan. Ia hanya mengucapkan selamat untuk rencana pernikahan kita." Wajah Revan terlihat begitu datar.

Aku menatap wajahnya dengan sangat serius. "Kalau memang ia tulus hanya untuk mengucapkan selamat, tidak perlu menyembunyikannya di balik artikel lama ini. Atau mungkin dia bisa mencantumkan namanya di surat ini. Bukan mengirimkan surat tanpa nama pengirim. Ini jelas ada maksud lain di baliknya. Aku bahkan bisa merasakannya."

Revan mengembalikan map itu ke pangkuanku. Lalu mengusap rambut untuk memberi ketenangan. "Tidak perlu berpikiran yang aneh-aneh. Pikir positif aja. Mulai sekarang, kita harus lebih memperhatikan kesehatan."

"Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan hal itu gitu aja. Selalu ada kemungkinan terburuk, terlebih karena ia menyembunyikan identitas." Tentu saja aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Semua ini demi keselamatan kami juga.

"Biar aku yang pikirkan hal itu. Kamu juga masih harus memikirkan perusahaan."

Aku menghela nafas. Apa yang Revan katakan memang benar. Perusahaan masih harus tetap jalan.

"Jadi, kita pergi sekarang?" tanya Revan lagi.

Aku mengangguk. Menyimpan kembali map di pangkuan ke dalam tas. "Kita ke butik aja dulu. Kalau untuk MUA, aku bisa hubungi melalui telefon nanti," kataku.

"Kalau memang masih keburu, kita ke sana. Tapi kalau tidak, kamu bisa telefon dulu. Lalu besok kita ketemu langsung," koreksi Revan.

Sepertinya lebih baik begitu.

Deadline NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang