"Kamu kenal Airin?"
Revan menatapku kaget. Pasti tak menduga pertanyaan itu muncul dariku. Dan bisa kulihat sekarang, jika ia merasa tidak nyaman membicarakan hal ini.
"Sebaiknya kita bicara di luar."
Revan sesaat meneliti keadaan sekeliling. Pasti tidak ingin jika pembicaraan ini didengar orang lain, terlebih mama. Meski pada akhirnya, mama akan tau hal itu cepat atau lambat. Pun dengan kedua orang tuanya. Dan entah apa yang akan terjadi nantinya setelah rahasia itu terungkap pada semua orang.
"Tidak ingin mama mendengarnya?"
Bukan ingin merendahkan Revan. Tapi rasanya kekesalan ku tengah memuncak melihat dirinya.
Revan bangkit dari duduknya, melangkah mendekat dan menarik tanganku untuk segera keluar. Ia membawaku masuk ke dalam mobil dan ia mengemudikan mobilnya entah hendak kemana.
Tak ada tujuan. Kami hanya berhenti begitu saja di pinggir jalan yang tidak ramai. Lalu kudengar helaan nafas darinya, dengan punggung yang disandarkan dengan lemah. Seakan sedang tertangkap basah telah melakukan sebuah kejahatan.
"Aku minta maaf." Tidak ada pembelaan untuk dirinya sendiri. Lebih pada merasa bersalah. Namun seharusnya bukan padaku ia meminta maaf. Tetapi pada Airin, juga putrinya.
"Apa kamu tau, jika Airin telah hamil dan melahirkan seorang anak perempuan?"
"Apa?" Kali ini Revan benar-benar terkejut. Tidak seperti ekspresinya tadi saat aku menanyakan perihal wanita yang semalam kutemui. Kali ini jauh lebih kaget.
Tidak ada niatan untuk mengulang pertanyaanku, hanya menatap wajahnya dengan wajah penuh tanya. Menanti jawaban yang menjelaskan semua, karena aku yakin ia mendengar dengan jelas apa yang baru saja ku tanyakan.
"Bagaimana kamu bisa tau hal itu?"
Pertanyaan balik Revan malah membuatku mengalihkan pandangan darinya. Membuang nafas kasar, berusaha memendam emosi yang ingin meledak. Tapi bertanya-tanya dalam hati, benarkah apa yang aku lakukan ini?
Helaan nafas Revan kembali terdengar. "Kami memang pernah melakukannya. Tapi aku sama sekali tidak tau, jika ternyata kejadian itu menghadirkan nyawa di dalam rahimnya." Revan berkata dengan lirih. Antara menyesal, atau membangkitkan kembali kenangan masa lalu, aku tidak mengerti. Bahkan rasanya tidak ingin melihat ekspresi wajahnya saat ini.
Terdiam. Aku terdiam. Kepalaku kembali berdenyut.
"Apa kamu bertemu dengannya?" Revan bertanya, memecah keheningan beberapa detik terakhir.
Aku mengangguk, tanpa menoleh ke arahnya. "Iya. Semalam aku bukan mengadakan pertemuan dengan klien. Tapi wanita itu memintaku untuk bertemu dengannya. Itu sebabnya aku tidak bisa mengiyakan tawaran kamu untuk menjemput."
"Bagaimana bisa dia mengenalmu?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak tau. Yang pasti, surat yang aku terima terakhir kali, dialah yang mengirimkannya. Aku tidak tau harus bersyukur, atau bersedih sekarang."
"Sayang..." Revan menyentuh jemariku yang teronggok kaku di pangkuan.
Berusaha menepis genggaman tangannya, tapi ia terlalu erat menggenggam. Membuatku hanya bisa pasrah.
Meski memiliki pertemanan yang tergolong bebas, tapi aku sama sekali tidak menyukai seks bebas. Hal itu menjijikkan bagiku. Dan mengetahui calon suamiku telah berbuat hal buruk itu jauh sebelum bertemu denganku, membuatku berpikir ulang tentangnya. Berpikir ulang tentang cinta yang telah tumbuh untuknya.
Cinta itu memang buta. Tak melihat keadaan, pun dengan masa lalu. Tapi bagaimana dengan keadaan ini?
"Apa kamu berpikir jika aku ini pria tak bermoral?" Revan bertanya, sembari mengendurkan genggaman tangannya. Menyadari jika aku sedang menghindari sentuhannya.
Aku mengangguk. Memang seperti itulah isi kepalaku saat ini. Aku tak bisa berbohong.
"Lalu, kamu memilih untuk menyerah?"
Diam. Hal itulah yang masih aku pikirkan, namun belum menemukan jawaban yang tepat.
"Apa kamu akan bertanggung jawab akan anak itu?" Aku balik bertanya padanya.
Revan mengangguk dengan cepat. "Jika memang anak itu adalah darah dagingku, aku tidak bisa menghindar. Itu sudah menjadi tanggung jawabku."
"Menikah dengan Airin?" Aku bertanya lagi. Namun masih mempertahankan pandanganku untuk tak menatap sosoknya yang sekarang lesu.
"Aku tidak bisa menikah dengannya. Menikah itu bukan hanya karena anak. Tapi harus dengan perasaan cinta yang saling bersambut."
"Lalu tanggung jawab seperti apa yang kamu berikan pada anak itu, jika bukan menjadi ayahnya?"
Revan mengerang tertahan. Aku tau jika ia dilanda kebingungan yang tak berkesudahan. Tapi pembicaraan ini harus menghasilkan keputusan yang terbaik. Sebelum akhirnya semua kami ungkapkan pada orang tua kami masing-masing. Untuk menindaklanjuti bagaimana ke depannya. Keputusan orang tua juga harus kami dengar. Karena mereka sudah lebih dulu menjalani seluk beluk kehidupan yang penuh liku ini. Mereka sudah lebih mengerti mana yang lebih baik.
"Aku akan tetap menjadi ayahnya, tapi bukan berarti harus menikah dengan ibunya. Kamu tau, ada beberapa keadaan, dimana dua orang tua harus saling berpisah untuk kehidupan yang lebih baik." Revan mencoba memberikan jawaban terbaiknya.
Aku menghela nafas. Aku paham yang dia maksud.
"Tapi, kita harus memastikan lebih dulu, jika anak itu memang milikku. Tidak ada yang tau kebenarannya jika tidak dibuktikan. Apalagi kami sudah tidak bertemu untuk waktu yang sangat lama."
"Lalu apa alasan kamu meninggalkan dirinya, setelah melakukannya?" Aku tak bisa meredam keingintahuan. Ingin mendengar alasan terbaiknya, yang mungkin bisa membuatku untuk memberi kesempatan padanya.
Helaan nafasnya kembali terdengar. "Saat itu, aku terlalu disibukkan dengan pekerjaan. Beberapa kali harus ke luar kota, tanpa jeda. Saat itu, aku masih berusaha untuk terus menghubunginya. Tapi sepertinya, dia telah bersembunyi dariku tanpa aku tau alasan pastinya."
"Setelah semua urusan pekerjaan selesai, aku datang mencarinya ke rumah, tapi ternyata dia sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. Tetangga bilang, dia sudah pulang ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Dan aku sama sekali tidak punya alamat pastinya."
Kulirik wajahnya yang kini tampak menyesal. "Apa kamu menyesali perbuatan itu?"
Revan membalas tatapanku. Soroti matanya begitu redup. "Aku tidak tau bagaimana harus bersikap. Jika aku mengatakan menyesal, kamu akan mengira jika aku masih memendam rasa padanya dan ingin kembali bersamanya. Namun jika aku mengatakan tidak menyesal, kamu akan menganggap aku sebagai pria kurang ajar."
"Lalu, apa kamu siap untuk menceritakan hal ini pada mommy dan daddy?"
Revan menggeleng cepat. "Tidak, sebelum aku memastikan jika anak itu milikku."
"Tapi kita tidak punya banyak waktu, Revan. Pernikahan kita hanya tinggal menghitung hari saja. Dan aku tidak ingin melangsungkan pernikahan, jika semuanya belum terungkap. Mommy dan daddy juga harus memberikan saran terbaik. Karena aku sama sekali tidak tau harus berbuat apa."
"Dan rasanya tidak mungkin Airin begitu percaya diri mengakui jika anak itu adalah milikmu, jika ia sendiri pernah melakukannya dengan pria lain."
Revan mengacak rambutnya kasar. Aku tau, ia sendiri pun mulai kacau. Tapi harus bagaimana? Ini langkah terbaik. Aku tidak ingin salah dalam mengambil keputusan, karena pernikahan itu adalah masalah seumur hidup. Bukan sebuah permainan yang bisa diakhiri disaat merasa bosan.
"Stella, tolong beri aku waktu," pintanya.
Aku menggeleng lemah. "Bukan aku yang tidak memberi waktu, Van. Tapi waktu pernikahan kita yang sudah ditentukan."
Revan memijat kening. Menyandarkan siku tangannya pada roda kemudi.
"Baiklah. Aku harus siap dengan segala resiko dari apa yang sudah kuperbuat," putus Revan setelah hening beberapa saat.
Kupandangi wajahnya yang tampak kacau. Tidak seperti tadi saat dia baru tiba di rumah. Tapi, ini adalah yang terbaik, bukan?
Vote dan komen!
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline Nikah
ChickLitSeorang gadis perawan tiga puluh dua tahun yang dikejar deadline menikah yang dibuat oleh sang ibu. Stella Azaria, nama gadis itu. Di saat sang ibu semakin mendesak Stella untuk segera menikah, di saat itu juga Revan muncul lagi dalam kehidupannya...