Deadline - 2

716 92 7
                                    

Aku menghempaskan tubuh di kursi kebesaranku. Baru saja menyelesaikan rapat dengan rekan bisnis, yang ternyata cukup sulit untuk ditaklukkan. Perlu upaya ekstra hingga akhirnya mereka menyetujui hubungan kerja sama.

Satu tanganku memijat kening yang terasa berat. Jujur saja, kepalaku cukup pusing. Meski sebenarnya dalam hati telah lega karena telah berhasil melakukannya.

Kuambil botol minum yang berisikan infused water. Aku selalu menyiapkannya setiap hari. Karena minuman satu ini selalu mampu membuatku lebih rileks.

Ketukan di pintu membuatku sedikit siaga. Aku harus bersiap dengan segala kemungkinan, jika saja sekretarisku bernama Andra itu membacakan jadwalku berikutnya. Yang mungkin akan menguras pikiran lagi.

Ya, aku sengaja memilih seorang laki-laki untuk menjadi sekretarisku. Karena sudah pasti bisa diandalkan dalam segala hal. Termasuk jadi pengawal pribadi saat kami harus melakukan perjalanan bisnis yang jauh.

Dan betul saja, Andra-lah yang masuk ke ruanganku.

"Ada apa?"

"Maaf, Bu. Ini kontrak kerja sama yang baru saja disepakati," katanya sedikit gugup.

Ia sepertinya sudah mengetahui dengan betul perangaiku. Saat dalam kondisi pusing seperti ini, tingkat emosiku akan naik.

Andra meletakkan map yang dibawanya tadi.

"Apa jadwalku berikutnya?"

Dia memeriksa buku agenda yang juga dibawanya. Membaca isinya dengan cepat. "Tidak ada lagi, Bu. Jadwal hari ini sudah habis," jawabnya.

Aku mengangguk. Sepertinya aku juga butuh istirahat.

Andra kemudian berbalik setelah menundukkan kepalanya.

"Andra, tunggu!"

Langkah kakinya berhenti tepat sebelum tangannya menyentuh daun pintu. Sedikit gugup membalikkan badan untuk melihatku. Tapi kemudian melangkah lagi mendekat, meski dengan langkah yang pelan.

"Aku ada satu pekerjaan untukmu."

Aku pikir Andra mungkin bisa membantuku untuk menyelesaikan tugas yang mama berikan. Ya, apa lagi kalau bukan tugas menikah itu.

"Pekerjaan apa, Bu?" Bisa kulihat dia cemas.

"Tidak perlu takut. Ini bukan pekerjaan yang buruk."

Andra menatapku, menanti tugas apa yang akan aku katakan padanya.

"Tolong kamu carikan seorang pria yang bisa dijadikan suami."

Andra malah melotot tidak percaya akan tugas yang baru aku sampaikan padanya. "Apa, Bu? Suami?" tanyanya.

Aku mengangguk yakin. "Ya, suami."

Kulihat Andra malah meringis pelan. Ia malah menggaruk tengkuknya, yang aku yakini tidak gatal sama sekali.

"Tapi, bagaimana jika kamu saja?" tanyaku kemudian. Aku rasa, Andra tidak buruk. Dia juga seorang pria yang baik.

Dia malah menyengir, enggan untuk menjawab.

"Ah, saya tidak pantas bersanding dengan Ibu," katanya kemudian.

Apa dia bilang? Apa seorang Andra baru saja menolakku?

"Bukan bermaksud untuk menolak Ibu. Aku malah menolak diriku sendiri, yang tidak layak untuk mendampingi Ibu," katanya seolah mengerti apa yang baru saja aku pikirkan.

Aku mengibaskan tanganku. "Ya sudah. Tidak apa kalaupun kamu tidak mau. Tapi tolong kamu carikan untukku. Aku pikir kamu bisa mengerti pria seperti apa yang aku inginkan."

Deadline NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang