Deadline - 16

231 34 0
                                    

Weekend yang biasanya kunikmati dengan bersantai sepanjang hari, hari ini harus berakhir dengan mencari solusi terbaik.

Dan di sinilah kami berada sekarang. Kediaman keluarga Revan, dengan kedua orang tuanya yang masih menatap bingung pada kami berdua. Tiba-tiba datang, namun ekspresi wajah yang terlihat sedikit tidak bersahabat. Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum, tapi sepertinya gagal total. Karena daddy kini menatapku tajam, seolah ingin menguliti diriku.

"Maaf, Mom, Dad." Revan memberi jeda, menanti seperti apa tanggapan orang tuanya. Tapi keduanya tetap diam, menanti penjelasan Revan.

"Revan telah membuat kesalahan yang mungkin Daddy dan Mommy tidak akan bisa maafkan. Dan mungkin akan mengubah keputusan Daddy sama Mommy tentang pernikahan Revan." Revan berhenti lagi. Tapi kedua orang tuanya tampak menanti hingga penjelasan Revan lengkap. Tak ingin menyela, yang bisa menyebabkan situasi memburuk.

"Revan telah mempunyai seorang anak dari wanita lain."

"Apa?" Mommy sangat syok mendengar kalimat pendek Revan itu.

Aku pikir, siapapun pasti akan syok jika berada di posisi mommy. Itu wajar. Mommy pun memijat kepala yang pastinya pusing. Kabar ini merupakan sesuatu yang tak pernah terlintas di kepalanya. Susah payah ia membesarkan Revan dengan sangat hati-hati dan penuh kasih sayang, malah dibalaskan dengan perbuatan seperti ini.

Tapi aku juga salut akan keberanian Revan untuk mengakuinya secara langsung. Siap dengan segala konsekuensinya.

Sementara daddy hanya menatap Revan dalam diam. Tapi tatapan itu aku artikan sebagai tatapan membunuh.

"Lalu bagaimana kamu akan bertanggung jawab terhadap anak itu? Daddy sama sekali tidak pernah mengajarimu untuk berbuat seperti itu. Bagaimana bisa kamu melakukannya tanpa berpikir ulang?"

Tidak ada nada menyalahkan ataupun memojokkan Revan. Tidak juga marah, daddy menyuarakannya dengan sangat hati-hati. Meski otot wajahnya terlihat mengeras.

"Maaf, Dad. Aku akan bertanggung jawab. Tapi aku tetap akan menikah dengan Stella. Keputusanku sudah bulat."

"Apa kamu yakin, jika Stella setuju dengan keputusan itu?" Daddy melirik ke arahku.

Revan pun menatapku. Ia sama sekali belum menanyakan hal itu padaku. Tak bertanya perihal persetujuanku. Tatapan matanya seolah sedang mengulang pertanyaan daddy barusan.

"Aku belum bisa memutuskan, Dad. Terlalu berat untukku, karena setiap kali aku melihat anak itu, aku pasti akan teringat kesalahan Revan itu. Dan pasti akan muncul bayangan buruk yang membuatku merasa jijik."

Apa yang aku katakan, persis seperti apa yang sedang ada di kepalaku. Tidak mudah bagiku untuk mengakui anak itu sebagai anak Revan meski dia tidak akan tinggal bersamaku. Semuanya butuh waktu.

"Lalu, bagaimana kamu begitu yakin untuk melanjutkan pernikahan kalian, jika Stella sendiri belum bisa terima keadaan ini? Pernikahan bukan hanya keputusanmu saja, Van." Daddy bersuara dengan tetap mempertahankan ketenangan.

Revan menghela nafas, antara bingung dan kecewa. Menatap penuh harap padaku. "Aku mohon, Stella. Aku sangat mencintaimu. Tolong jangan tinggalkan aku. Mari kita sama-sama cari jalan keluar terbaik, tanpa menyakiti perasaan kamu dan tanpa melupakan tanggung jawabku," pintanya.

Itu artinya, kehidupan Revan memang tidak akan lepas dari bayang-bayang anak itu. Atau bahkan bayang-bayang Airin.

Dan aku adalah orang yang egois, terkait hal-hal yang menjadi milikku. Aku tidak akan rela berbagi. Pun tentang orang yang aku cintai.

Deadline NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang