Kesibukan mengurusi pernikahan memang membuatku melupakan hal-hal yang tidak terlalu mempengaruhi kegiatanku. Belum lagi rutinitas kantor yang tetap berjalan seperti sedia kala.
Pagi ini, aku menerima pesan tak bertuan lagi. Seperti yang pernah terjadi sebulan yang lalu. Namun kali ini, isi pesannya seolah lebih menunjukkan karakter asli si pengirim pesan. Atau mungkin, karakter asli calon suamiku.
"Aku benar-benar berharap untuk mendapat undangan pernikahan kalian. Agar aku bisa menunjukkan pada semua orang, pria seperti apa Revan itu. Pria pengecut yang tak bertanggung jawab.
Kalau kamu tak ingin rahasia ini terungkap ke publik, temui aku sore ini di cafe Sederhana, jam lima."
Aku terduduk lemah di kursi kebesaranku. Tangan bergetar hebat saat meremas selembar kertas putih berisikan beberapa kalimat itu. Dada terasa sesak, sulit untuk mendapat oksigen. Kepala pun mulai berdenyut, menyisakan rasa sakit yang luar biasa.
"Ada apa, Bu?"
Masih bisa kulihat Andra yang panik sesaat setelah memasuki ruanganku. Ketukan di pintu sejak tadi tak mampu kujawab, hingga pria itu memilih untuk masuk.
Andra mendekat, memeriksa isi kertas yang sedang kupegang.
"Ibu baik-baik saja? Mau aku hubungi pak Revan?"
Di sisa tenaga yang kumiliki, aku memilih untuk menggeleng. Mungkin ada baiknya aku bertemu langsung dengan pengirim surat ini. Ya, sebelum semuanya menjadi lebih rumit.
***
Aku melangkah gelisah, memasuki cafe yang tak terlalu jauh dari kantor. Aku meminta Andra mengantarku sampai ke depan cafe, tapi menolak tawarannya untuk menemaniku. Ini adalah masalah pribadi, tak perlu Andra melibatkan diri.
Sementara Revan, aku menolak dirinya yang ingin menjemput, dengan alasan kalau aku masih ada pertemuan dengan klien. Dan aku beralasan jika Andra ada bersamaku, demi tak membuatnya risau. Dia percaya kalau Andra bisa menjagaku dengan baik.
Aku duduk di salah satu kursi kosong dekat jendela. Menyapukan pandangan ke seluruh ruangan dengan pencahayaan yang tak terlalu terang. Seakan mencari keberadaan sosok itu. Lalu merutuki diri sendiri, kala aku tidak mengenali orang yang akan aku temui hari ini.
Kualihkan pandangan ke luar jendela. Diluar sedang mendung, dan sepertinya akan hujan. Petir sesekali terdengar, saling membalas dari sisi lain.
Meminta segelas coklat panas pada pramusaji, lalu kembali pada keheningan sendiri. Kedua tangan saling meremas di pangkuan. Rasa gugup kembali melanda. Ketakutan pun mulai menyelimuti, membayangkan hal buruk apa tentang Revan yang akan aku dengar. Aku tak ingin berhenti, kala pernikahan kami sudah di depan mata. Tapi aku tak mungkin bisa, jika itu adalah hal yang tak bisa untuk dimaafkan. Lantas, perjalanan kami akan berhenti sampai di sini. Tak ada pernikahan, tak ada masa depan bersama, dan aku akan melanggar deadline yang mama buat. Semua itu semakin membuat kepalaku pusing.
Segelas coklat panas sudah tiba di hadapanku. Segera kusesap, demi mengurangi rasa gugup yang melanda. Melirik jam yang melingkar di tangan kiri, dan masih tersisa beberapa menit lagi sebelum jam lima tepat.
Menggosok kedua telapak tangan kala dingin semakin menyerang. Hujan pun perlahan mulai turun. Suasana ini hampir sama dengan suasana hatiku yang tak baik-baik saja. Lalu kutangkupkan kedua telapak tangan melingkari gelas berisikan coklat panas. Berharap panasnya bisa menghangatkan tangan, pun dengan hatiku.
"Stella, kan?"
Aku memutar wajah pada sumber suara yang terdengar begitu dekat denganku. Ternyata seorang wanita sudah berada di sebelahku, entah sejak kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline Nikah
ChickLitSeorang gadis perawan tiga puluh dua tahun yang dikejar deadline menikah yang dibuat oleh sang ibu. Stella Azaria, nama gadis itu. Di saat sang ibu semakin mendesak Stella untuk segera menikah, di saat itu juga Revan muncul lagi dalam kehidupannya...