Kugenggam erat gelas yang kini sudah sangat dingin. Tatapan mataku kosong, otakku buntu, tak menemukan jalan keluar. Setelah Airin pergi tadi, aku hanya diam membisu seorang diri. Tak ada satu hal pun yang bisa kuputuskan.
Ponsel yang sedari tadi berdering menampilkan nama Revan, tak ingin kujawab. Rasanya masih sangat enggan untuk bertemu pria itu. Pria yang ternyata memiliki masa lalu yang begitu mengagetkan.
Tak bisa kubayangkan, bagaimana reaksi kedua orang tuanya, pun dengan Ray dan Rehan jika tau tentang masa lalu itu. Lantas, apakah diriku akan tersingkir dari impian masa depannya, setelah semua orang tau masa lalu itu?
Haruskah aku mengubur dalam-dalam pernikahan yang sudah kami rencanakan sedemikian rupa? Harinya bahkan sudah sangat dekat.
"Ibu baik-baik saja?"
Andra tiba-tiba menghampiriku. Aku tidak tau, apakah sedari tadi pria itu masih menungguiku. Yang aku tau, dia sudah berada di dekatku saat ini.
"Hantarkan aku pulang, Andra." Satu kalimat perintah yang aku minta pada Andra.
"Tapi, pak Revan sudah menelfon Ibu." Andra melirik sekilas ponselku di atas meja yang kembali berdering dan menampilkan nama Revan, entah sudah keberapa kalinya.
Kumatikan ponsel. "Aku sedang tidak ingin bertemu dengannya." Lalu bangkit dari dudukku. Memasukkan benda pipih nan canggih ke dalam tas. Melangkah mendahului Andra yang tampak bingung.
Pria yang beberapa tahun lebih muda dariku itu mengekor langkah kakiku. Menyimpan kebingungan itu untuk dirinya sendiri. Dengan sigap, tangannya membukakan sebuah payung untuk melindungi tubuh kami dari guyuran hujan yang masih lebat.
"Terima kasih, Andra," kataku lirih sesaat sebelum Andra menutup pintu.
Andra kemudian memutari mobil untuk mendapatkan posisi di kursi kemudi. Ia melirik dari kaca spion, untuk memastikan keadaanku sebelum melajukan mobil.
Tak ada pembicaraan selama dalam perjalanan. Andra sendiri memilih untuk tidak bertanya apa-apa. Ia tau suasana hatiku sedang tidak baik, dan ia tak ingin memperkeruhnya.
Berhenti dengan sangat hati-hati hingga mendapatkan posisi yang sempurna di depan pintu. Aku memilih untuk membuka pintu, tanpa menunggu Andra yang sudah keluar mobil dan setengah berlari untuk melakukannya untukku. Pria itu kemudian menunduk hormat. "Selamat malam, Bu."
"Terima kasih, Andra." Lagi, hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan.
"Stella? Kenapa baru pulang jam segini? Tadi Revan datang mencari kamu ke sini. Kalian marahan?" Mama sudah menanyaiku, bahkan saat diriku baru saja melangkah masuk. Kondisiku benar-benar tidak siap menerima rentetan pertanyaan darinya. Hanya bisa mengelus dada, meredam keterkejutan.
"Ada pertemuan, Ma. Maaf, aku tidak mengabari lebih dulu kalau aku pulang terlambat," kataku menjelaskan, dengan sedikit kebohongan.
Mama melangkah mendekat, dengan tatapan mata yang sangat menyelidik. "Wajah kamu tidak menunjukkan kalau kamu baik-baik saja. Apa kamu berantem dengan Revan? Karena tadi, Revan juga menunjukkan hal yang serupa."
Kuhela nafas. Ingin berkata jujur, tapi kondisi mama tidak baik-baik saja. Lalu ku paksakan senyuman terbaik, meski aku yakin masih terlihat menyedihkan. "Nggak kok, Ma. Kami baik-baik aja. Aku hanya terlalu lelah. Jadi, aku istirahat dulu, ya, Ma."
Aku tetap melangkah, meski mama belum mendapatkan jawaban yang membuatnya puas. Karena tatapan matanya belum bisa beralih dariku, dengan helaan nafas panjangnya.
Ah, aku jadi semakin bingung, bagaimana harus menjelaskan keadaan ini pada mama.
Tanpa membersihkan diri, aku langsung berbaring di atas kasur empuk dengan kedua mata terpejam rapat. Ingin rasanya memejamkan mata dan tak perlu membukanya lagi. Agar aku tak perlu menghadapi keadaan serba sulit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline Nikah
ChickLitSeorang gadis perawan tiga puluh dua tahun yang dikejar deadline menikah yang dibuat oleh sang ibu. Stella Azaria, nama gadis itu. Di saat sang ibu semakin mendesak Stella untuk segera menikah, di saat itu juga Revan muncul lagi dalam kehidupannya...