Deadline - 5

490 62 1
                                    

"Sudah ada rencana menikah, Kak?"

"Tentu saja sudah."

Itu bukan jawabanku. Tetapi suara seorang pria yang sudah kukenali. Dan entah sejak kapan dia ada disini.

"Revan?" Aku hanya bisa menyebutkan namanya. Antara bingung dan kaget dengan kemunculannya.

Revan langsung mengambil posisi di sebelahku. Membuat Andra mengambil jarak namun tak meninggalkan kami. Ia tetap mengawasi.

Tanpa malu, Revan memeluk pinggangku. Menatap wajah kagetku untuk sesaat, kemudian mengalihkan pandangan pada para wartawan yang sepertinya sudah ia kenal.

"Kami sudah merencanakan pernikahan. Tapi memang belum mempersiapkan apa-apa. Karena akunya juga sibuk, Stella juga sibuk. Belum sempat," jelas Revan.

Aku sendiri hanya bisa menatap wajahnya yang terlihat sangat santai. Tanpa beban sedikitpun. Ya, aku akui, dia sudah terbiasa dengan semua ini.

"Ya sudah, terima kasih ya sudah mampir." Revan berkata lagi.

"Tapi, Van." Suara salah satu dari mereka membuat Revan menghentikan kaki yang akan melangkah.

"Saat kami konfirmasi pada Natasha, katanya kalian belum putus."

Aku tidak tau siapa Natasha yang mereka maksud. Tapi aku pikir, itu adalah mantan kekasih Revan. Yang pastinya sudah diketahui oleh mereka.

Revan terkekeh pelan. Sesaat kemudian tatapannya berubah tajam. "Memangnya yang bilang kami pernah menjalin hubungan, siapa? Coba deh, kalian juga ingat-ingat lagi. Selama ini apa pernah aku bilang kalau aku dan dia menjalin hubungan? Kami hanya sekedar dekat. Dan itu juga karena pekerjaan."

"Tapi ya sudahlah. Mungkin aku memang spesial untuknya," kekeh Revan lagi.

Entah hanya penilaianku saja, tapi tingkat percaya diri Revan sungguh luar biasa. Bahkan tergolong narsis.

Revan kemudian menarikku untuk segera masuk setelah mengucapkan kata terima kasih pada beberapa wartawan yang tadi telah mewawancarai kami. Mereka yang terlihat masih ingin bertanya, memilih untuk mengurungkan niat. Seolah mengerti dengan Revan yang tak ingin bicara lagi.

Sementara Andra memilih untuk pamit. Ia juga melangkah dengan cepat, tak ingin ditanyai oleh wartawan lagi. Aku bisa melihat dia mengangkat tangan untuk menolak pertanyaan.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba muncul di sini?" Aku bertanya pada Revan saat memasuki rumah.

"Karena aku merindukanmu." Revan menjawab dengan ekspresi genit yang membuatku sedikit kesal. "Dimana tante?" tanyanya kemudian.

Aku lebih dulu mempersilahkan dia untuk duduk sebelum berlalu mencari keberadaan mama. Sekalian membuatkan teh untuknya.

Revan mengangguk dan kulihat dia duduk dengan santai.

Aku menemukan mama sedang berada di dapur bersama bik Emi. Sedang menikmati segelas teh hangat.

"Ma, Revan mencari Mama." Aku berkata sembari mendekati bik Emi untuk memintanya membuatkan teh untuk Revan.

Kedua alis mama terangkat, tapi kemudian memberikan senyum tipis dan mengangguk. Mama beranjak dari duduknya tanpa melupakan gelasnya yang masih terisi lebih dari setengah. Aku mengikuti langkah mama dari belakang. Dan kudengar langkah bik Emi juga mengikuti kami.

Mama langsung duduk di sofa tunggal. Pandangannya lurus pada Revan, seakan sedang menilai pria itu.

"Halo, Tante." Suara Revan terdengar penuh keberanian. Tak sedikitpun ada rasa gugup. Dan aku salut akan hal itu.

Deadline NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang