Deadline - 7

418 59 0
                                    

Tubuhku mematung saat menyadari siapa yang aku hadapi saat ini. Ternyata benar dugaanku, kalau Natasha yang disebutkan oleh Andra tadi adalah orang yang sama dengan wanita yang berusaha mencelakai kami sebelumnya.

"Natasha?" Revan bertanya ulang tentang nama yang kusebutkan tadi.

Aku hanya mengangguk. Ada perasaan takut juga, jika saja wanita itu berbuat lebih. Terlebih mengingat keberanian dalam dirinya sebelumnya. Seorang public figure mampu melakukan tindakan seperti itu, merupakan sesuatu yang pantas untuk diwaspadai.

"Kita harus menemuinya sekarang," kata Revan lagi. Kalimatnya tak terbantahkan. Ada nada memaksa terdengar darinya. Sedikit kekhawatiran pun tak bisa disembunyikan.

"Nih, pakai mobil Daddy. Mobil kamu, 'kan masih rusak," kata om Rex sembari meletakkan kunci mobilnya di meja.

Aku bersyukur kalau om Rex pun mendukung keputusan Revan.

"Kalau tidak, panggil sopir saja. Jangan menyetir sendiri," tambah tante Hana.

Revan menggelengkan kepala. "Tidak perlu, Mom. Aku bisa menyetir sendiri. Tidak apa."

"Revan..." Meski Revan terdengar begitu yakin, aku juga tidak ingin memaksanya. Trauma akan kejadian sebelumnya mungkin masih tersisa. Dan aku tidak ingin mengambil resiko jika hal itu terulang kembali.

"Kamu serius?" ulang tante Hana untuk meyakinkan Revan.

"Iya, Mom. Aku serius. Kalau begitu, kami pamit dulu," kata Revan dan bangun dari duduknya. Mengambil kunci mobil om Rex dari atas meja. Aku pun mengikutinya. Tanpa bisa menolak lagi.

Kami pergi setelah berpamitan pada keduanya. Wajah keduanya tampak sedikit tidak yakin. Tapi berusaha sebisa mungkin menutupinya.

Revan yang selalu bersamaku, memasang badan untuk menjadi tameng. Yang berhasil membuat raut wajah Natasha menjadi semakin kesal.

Aku menahan tangan Revan, membiarkan Natasha menyampaikan apa yang ingin disampaikan untukku.

"Ada keperluan apa denganku?" tanyaku pada akhirnya, saat ia tak juga membuka suara. Hanya memandangiku dalam diam, dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. Aku sendiri sudah malas, jika hal ini terjadi lebih lama lagi. Aku masih punya banyak pekerjaan lain yang lebih penting, dibanding hanya ditatapi wanita yang tidak kukenal ini.

Ia tertawa sumbang, meremehkanku. "Kamu belum sadar ya, apa yang sudah kamu lakukan?" tanyanya.

"Aku sama sekali tidak mengenalmu, dan aku tak punya urusan denganmu," jawabku.

Lagi, ia tersenyum kesal. "Kamu sudah merebut Revan dariku! Masih belum sadar juga?" Nada suaranya meninggi.

"Nath, stop! Kita tidak pernah punya hubungan apa-apa. Hanya sebatas teman kerja, tidak lebih." Revan berusaha menengahi.

"Aku tidak bicara denganmu, Van. Aku bicara dengan wanita pelakor itu," desis Natasha.

Kutahan tangan Revan yang hendak maju mendekati Natasha. "Hati-hati dengan omonganmu, Nona. Pencemaran nama baik bisa dikenai pasal."

"Merasa suci, huh?"

Aku menggelengkan kepala pelan. Tak mengerti dengan jalan pikiran wanita ini. "Aku sama sekali tidak punya urusan dengan masa lalu antara kamu dan Revan. Yang aku tau, Revan datang melamarku. Dan aku terima karena aku juga menyukainya. Aku tidak pernah merebut Revan dari siapa pun, termasuk darimu."

"Tapi kamu sadar tidak, kalau Revan itu masih milik orang lain?" Ia tak mau kalah.

"Nath, aku minta berhenti. Aku tidak pernah merasa kalau kita punya hubungan. Kamu yang terlalu terbawa perasaan." Revan kembali bicara.

Deadline NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang