Hari pernikahan yang sudah ditentukan akhirnya tiba. Pesta pernikahan yang sangat intim, yang pada akhirnya digelar di kediaman keluarga Revan. Awalnya kami ingin melangsungkannya di sebuah hotel, namun pada akhirnya merubah rencana itu setelah mendekati hari H atas saran dari mommy. Hal itu demi menjaga privasi dan keintiman acara. Meski demikian, tempat tentu tak akan merubah makna pernikahan itu sendiri.
Aku memandangi tampilan diriku di cermin berukuran besar. Terlihat sangat menawan dalam balutan gaun pilihanku sendiri. Ditambah lagi sentuhan make up dari tangan profesional yang harus kuacungi jempol sebanyak yang aku bisa. Belum pernah aku mengagumi diriku seperti saat ini. Ini benar-benar luar biasa. Aku akan menjadi ratu sehari.
"Deg-degan ya?"
Itu suara Ray. Sahabat yang akan menjadi kakak iparku. Sungguh jodoh memang tak pernah terduga.
Aku mengangguk pelan. "Kamu juga gitu, ya, dulu?" Kami saling menatap melalui pantulan cermin.
Ray tersenyum lantas mengangguk. "Iya. Kata mommy, hal itu memang wajar. Karena pernikahan adalah momen yang sangat sakral." Sahabatku itu mengambil posisi tepat di belakangku, kedua tangannya menyentuh pundakku yang terekspos indah karena gaun yang ku kenakan off shoulder. Sentuhan yang teramat lembut dan penuh kasih. Pandangan kami bertemu di cermin besar di hadapanku.
"Kamu cantik banget hari ini," pujinya begitu tulus. Senyumannya pun teramat indah.
"Dan, setelah sah menjadi adik iparku, jangan coba macam-macam padaku. Harus menurut!" katanya berlagak galak. Diiringi tawa renyah.
"Hei, jadi kakak ipar itu yang baik sama adik iparnya. Apa-apa yang adik ipar belum pahami, tolong dibantu." Aku membalas tak mau kalah. Kami tertawa bersama. Namun hanya sesaat, ketika suara bocah berusia tiga tahun itu terdengar sedang mencari keberadaan ibunya.
Fokus Ray beralih pada bocah laki-laki yang berteriak memanggil dirinya itu. Membawa tubuh gendut putranya dalam gendongan tanpa merasa kesulitan, meski ia sendiri sudah mengenakan kebaya. Sementara aku yang hanya melihat saja sudah merasa kesulitan. Namun aku tersenyum, menyadari hal itu bisa Ray lakukan dengan mudah karena sudah terbiasa. Alah bisa karena biasa.
"Aku tinggal ya, Stel. Jangan kabur! Jangan sampai mempermalukan keluarga kita," katanya berpamitan meninggalkanku seorang diri di kamar tamu yang dijadikan ruangan make up hari ini. Sementara sang MUA sudah keluar sejak tadi.
Kuanggukkan kepala perlahan, kemudian kembali menatap diriku setelah Ray dan putranya keluar.
***
Pemberkatan nikah berlangsung dengan lancar dan aman. Semua sesuai dengan apa yang sudah kami rencanakan. Tak ada kendala yang begitu berarti.
Aku dan Revan duduk berdampingan di pelaminan yang terbilang sederhana. Meski begitu, tak mengurangi rasa bahagia dalam hati. Demikian juga dengan dua keluarga besar yang menghadiri acara ini. Pun dengan beberapa tamu undangan yang merupakan teman dekat kami.
Namun pandanganku tetiba saja terpaku pada seseorang di antara puluhan keluarga. Aku tidak tau bagaimana caranya ia masuk ke tempat ini. Yang aku lihat, dia tersenyum manis namun seolah sedang menyembunyikan sesuatu di balik senyuman itu.
"Airin," gumamku pelan. Melirik perlahan ke arah Revan, yang kini sudah sah menjadi suamiku.
Bisa kulihat jika Revan pun menyadari keberadaan Airin. Pandangannya pun tertuju pada wanita yang pernah menempati posisi istimewa di hatinya itu. Aku bahkan bisa merasakan ada ketakutan di wajah Revan. Pasti ia sedang mengkhawatirkan apa yang akan wanita itu lakukan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku pelan.
Revan berdehem pelan. Mengusir kecanggungan yang tiba-tiba saja menghampiri. "Aku pikir kita harus menunggu apa yang dia lakukan. Jika memang dia tak membuat masalah, kita pun hanya perlu mengabaikannya."
Hingga hari ini, kami belum pernah menemui Airin. Entah dimana tinggalnya wanita itu, kami bahkan tak tau. Kami pernah mencoba mencarinya, namun tak menemukannya. Dan waktu yang kami punya hanya sedikit. Itu sebabnya, kami belum juga bicara baik-baik padanya.
Debaran jantungku sedikit berpacu saat Airin melangkah mendekati kami. Sama sekali tak bisa menebak apa yang akan dia lakukan.
"Selamat, ya. Aku ikut bahagia untuk pernikahan kalian."
Aku tersenyum tipis, walau aku yakini akan sangat terlihat jika saat ini aku sedang bingung sekaligus takut. Terlebih mengingat isi pesan yang pernah wanita itu kirimkan untukku.
"Kita harus bicara, Rin." Revan bersuara.
"Haruskah kita bicara sekarang?" Airin malah balik bertanya. Dan aku tak suka mendengar nada bicaranya. Wanita ini sepertinya punya kepribadian yang mudah berubah. Saat kami bertemu pertama kali, dia tampak begitu tulus dan lembut. Tapi kini, aku tak melihat ketulusan dalam dirinya. Ataukah ia sedang menyimpan dendam untuk Revan, aku tak tau.
"Tinggalkan alamatmu, kami akan ke sana secepatnya, setelah semua urusan ini selesai," kata Revan menahan emosi.
Kuusap tangannya dengan lembut. Berharap ia tidak emosi yang bisa menyebabkan kecurigaan dari keluarga besar. Walau kenyataannya mommy dan daddy sudah mendengar kabar itu. Setidaknya, dari keluarga besar harus dirahasiakan lebih dulu. Dari mama juga. Kondisi kesehatan mama bisa menurun drastis jika tau hal ini. Padahal saat ini aku bisa melihat mama tersenyum bahagia.
Airin menghela nafas pendek. "Udahlah. Aku juga nggak berharap lebih kok. Yang penting, aku dan Mikhaila hidup tenang."
"Kalau memang dia darah daging ku, biarkan aku bertanggung jawab atasnya. Tenang saja, aku juga tidak akan merampasnya."
Airin tersenyum tipis, namun terkesan sedang mengejek. "Nggak usah. Aku masih bisa bertanggung jawab sendiri. Mikhaila nggak butuh orang lain," kekeuhnya.
Rahang Revan menegang mendengar penuturan wanita itu. Jika memang Airin tak mengharapkan apa-apa lagi darinya, seharusnya wanita itu berdiam diri saja tanpa harus muncul lagi di hadapan Revan. Namun kenyataannya, dia malah datang bahkan tanpa diundang. Muncul bagai pencuri dan mengusik ketenangan hati kami. Aku sendiri merasa kesal dengan sikapnya kini.
"Selamat tinggal dan semoga bahagia," kata Airin lagi, lantas melangkah pergi meninggalkan kami berdua di pelaminan.
Aku memandangi punggung wanita itu, hingga akhirnya dia keluar dari gerbang, tanpa duduk lagi. Seolah kehadirannya tadi hanya untuk mengusik kebahagiaan kami.
"Kamu yakin jika dia datang hanya untuk mengatakan hal itu?" tanyaku pada Revan yang ternyata juga sedang memandangi kepergian wanita itu.
"Aku pikir tidak. Dia bukan wanita yang mudah menyerah seperti itu. Aku malah curiga, jika anak itu bukanlah darah dagingku," balas Revan tanpa membalas tatapanku.
"Apakah dia memang memiliki kepribadian ganda?" selidikku.
"Sepertinya tidak. Tapi entahlah, beberapa tahun belakangan ini."
"Ada apa, Van, Stel?" Ray datang menghampiri kami. Keningnya berkerut pertanda penasaran.
"Nggak kok, Ray."
"Nggak kok, Kak." Aku dan Revan menjawab bersamaan.
Ray malah tertawa mendengar kami. "Pengantin baru kompak banget," ledeknya. Dan ledekan itu berhasil membuat Revan mengerang kesal pada kakaknya. Namun sahabatku itu sudah berlalu cepat dari dekat kami, sebelum mendapat balasan dari Revan yang juga senang mengusili dirinya.
Setidaknya, beban di pikiran sesaat terlupa karena melihat tingkah kakak beradik ini.
Vote dan komen!
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline Nikah
ChickLitSeorang gadis perawan tiga puluh dua tahun yang dikejar deadline menikah yang dibuat oleh sang ibu. Stella Azaria, nama gadis itu. Di saat sang ibu semakin mendesak Stella untuk segera menikah, di saat itu juga Revan muncul lagi dalam kehidupannya...