VI

245 69 5
                                    

Jeongguk

Debur air yang menerpa kaki masih belum tinggi. Pantai Parangtritis bisa ditolerir. Meski pesisirnya lumayan lebar dengan minimnya pecahan batu karang, agaknya ombak memang sedang malas saja menepi ke daratan. Alih-alih berbincang dengan santai, Jeongguk merasa kalau terbentang dinding di antara ia dan seseorang yang menemaninya. Mungkin juga karena perangai yang menyertai Jimin masih terlampau asing untuk Jeongguk yang lama tidak mampir ke daratan Jogja. Selama ini, ia banyak dikelilingi para Abdi Kinasih Kanjeng Ratu yang memperlakukannya seperti seorang adik bungsu. Disayang-sayang dan dimanja. Dengan NamJoon, Jeongguk hampir selalu bertikai, sedang Jihyo punya sifat penurut yang welas asih. Hampir sama dengan Kanjeng Ratu. Baru kali ini ia bersanding dengan seseorang yang lumayan vokal tapi santun di saat yang sama.

"Kamu teman mas NamJoon waktu masih sekolah?" Jimin berinisiatif membuka pembicaraan. Bukan kaleng-kaleng juga kalau cari topik. "Ndak pernah lihat dia bawa teman, soalnya."

"Adik kelasnya," jawab Jeongguk.

"Gapnya jauh?"

"Lima tahun."

"Lumayan jauh, berarti." Masih tersirat nada takut-takut disana. "Ngomong-ngomong, aku penasaran asal kamu dari mana. Kamu tidak punya masalah sama orang, kan?"

Jeongguk mengerutkan alis. Bingung.

"Soalnya kamu hanyut di pantai. Maaf kalau tanyanya langsung."

"Ndak papa." Ternyata ombak juga bisa jadi pengkhianat. Deburnya yang semula menenangkan jadi makin menjengkelkan. Menabrak mata kaki dan membuat beberapa rumput lautan terseret. Bikin susah berjalan. "Aku hanyut karena jatuh," kilah Jeongguk. Jengkel dengan keadaannya yang hampir jatuh karena harus menghindari banyak tumbuhan yang diseret ombak, Jeongguk jadi berdiri diam. Tidak melangkah kemana-mana. Telapaknya mampu mendekat ke dada dan mendorong gulungan air di kaki menjauh. Pelan-pelan sampai membentuk sebongkah arus baru bak hendak membelah air.

Tidak ada reaksi dari lawan bicaranya. Cuma saling pandang dengan keheningan menyiksa di antara keduanya. Beberapa detik berlalu baru Jeongguk sadar kalau tidak sengaja menunjukkan kemampuannya di hadapan orang asing. Baru juga bertemu beberapa kali sudah menampilkan sulap.

"Bawaan lahir." Di dalam pikiran sudah tidak ada skenario tersisa, jadi Jeongguk utarakan saja apa yang lewat.

Jimin tertawa garing. "Anggap saja aku tidak lihat yang barusan," katanya.

"Aku mau tanya. Boleh?"

"Boleh."

"Kamu ada hubungan apa sama Pantai Selatan?"

"Hubungan?" Jimin mengerjap-ngerjap. Terlampau tidak mengerti. "Maksudnya?"

"Aku pernah bilang kalau kamu bau. Memang ada aromanya."

Tidak ada jawaban terlontar. Mungkin Jimin bakal cuma sekadar menunggu saja supaya Jeongguk tidak memutus-mutus kalimat yang sejatinya cuma satu.

"Kayak bunga melati. Sedap malam." Jeongguk menerka-nerka. "Mirip sama baunya orang yang punya Kraton di dalam laut sana."

"Duduk dulu saja, yuk." Meski belum dapat persetujuan, Jimin sudah melangkah menepi. Berjalan di atas pasir untuk bisa mendekat ke salah satu pohon yang tersisa di tepi bibir pantai. "Kalau kamu bilang soal orang yang punya Kraton di Laut Selatan berarti Nyi Rara Kidul, kan?"

"Bukan mbak Rara Kidul." Jeongguk duduk di samping harapan terakhirnya untuk bisa ingat tugasnya sampai ke daratan. "Ndoro Kanjeng Ratu Kidul."

"Ndak sama?"

"Beda orang."

"Aku kira, orangnya sama."

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang