XIII

129 32 2
                                    

Chanyeol

Pemuda berkepala tiga itu mondar-mandir di depan cermin lemari. Satu-satunya media penghubung antar dirinya dan sosok yang tidak bakal bisa ia lihat pakai mata telanjang. Meski sejatinya memungkinkan, ini cara yang ia pilih. Meminimalisir ketahuan atau ia yang disangka gila betulan. Berbicara dengan cermin bisa dianggap kalau ia sedang memotivasi diri. Menggunakan dirinya sendiri sebagai figur pelaku sekaligus korban.

"Kamu tidak pernah bilang kalau adikku bakal terlibat." Ia bergumam sendiri. Tidak lagi menghiraukan sosok lain yang masih terpantul di cermin ruangan. "Yugyeom." Chanyeol rapalkan nama itu lamat-lamat. Seolah ia punya dendam kesumat.

Bayangan memantul itu diam saja. Yugyeom punya wajah putih pucat yang mengkhawatirkan. Sekujur tubuhnya dibalut setelan putih dari kemeja panjang sampai ke celana kain. Satu-satunya luka paling kentara dari sosoknya adalah bekas jeratan tali yang masih memerah dan cenderung menuju warna keunguan di leher.

"Ya," bisik Chanyeol menahan geram. "Aku memang pernah bilang kalau aku bakal menghalalkan cara apa saja biar keinginanku terwujud lewat Pantai Selatan. Apa ini salahku juga karena ndak tanya ke kamu resikonya? Apa bakal sama kalau aku bilang, ini bukan apa yang aku mau, nanti? Adikku juga ndak bakal selamat dan kamu lepas begitu saja."

"Situasinya juga di luar kendaliku, Chanyeol."

"Jauh di luar kendali kamu." Ia mengerang frustrasi. Langkahnya makin cepat saja. "Apa dia juga tahu? Atau kamu cuma jalankan saja misinya tanpa tanya?"

"Dia bukan hal yang bisa makhluk seperti aku kendalikan." Yugyeom jadi kedengaran ikut-ikutan murka. "Drajatnya jauh lebih tinggi."

"Benar." Chanyeol manggut-manggut. Tertawa nanar sambil meratapi seluruh kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di dalam otaknya. Entah mana yang benar dan mana yang salah. Tidak tahu mana yang buatan dan mana yang asli. "Kamu korban ditinggal cinta mati, dia satu dari Abdi Kinasih," gumamnya sendiri, "memang beda. Sangat berbeda."

Yugyeom tidak menjawab. Mungkin karena benar adanya. Ia mati karena kesalahan yang telah ia perbuat sendiri. Bukan dari caranya yang mengenaskan tapi dari kelakuan yang telah ia lakukan. Chanyeol dengar beberapa runtutan kalimat yang pernah ia bicarakan, sesekali. Pengkhianatan memang selalu berakhir tidak terduga dari kedua belah pihak. Baik itu menjadi petaka kematian atau doa baik membahagiakan.

"Terus gimana?" Chanyeol kembali mengais-ngais jawaban. Sekiranya ada yang bisa ia pertahankan. Dijadikan pedoman diri supaya tidak jadi hilang akal dan gila. "Kamu ndak bisa, ya, bawa aku ke dia?"

"Bisa apa kamu kalau ketemu sama dia?"

"Yang pasti, aku bisa tukar nyawa siapa saja selain keluargaku."

"Bakal selalu ada yang harus dikorbankan, Chanyeol. Kamu ndak bisa lepas dari garis takdir itu." Yugyeom jadi ngotot. "You cannot escape. Nooit[17]." Aksen Belanda kental membuat pelafalan Bahasa Inggrisnya jadi khas.

"Walaupun aku percaya kalau semua butuh pengorbanan, kamu juga ndak bisa tukar nyawa keluargaku sama yang lain, kan?" Ia kembali memastikan. "Biarkan aku yang tanya ke dia sendiri."

"Chanyeol." Nada suara itu memperingatkan. "Jangan main-main sama pernjanjian ini. Bayarannya bisa nyawa kamu sendiri."

"Bagus!" Chanyeol setengah menjerit. Hiperbolis. "Sekarang kita berdua bakal dibinasakan atau lebih-lebih, keluargaku bakal ikut aku ke neraka," ujarnya. "Kamu pilih." Langkahnya bergerak dari mondari-mandir jadi mendekat ke cermin. "Kita berdua atau aku bakal bawa cinta tidak sampai-mu itu sama-sama ke Banyuwangi."

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang