II

281 82 8
                                    

Jeongguk

Sakit kepala akibat kurang tidur dan ditambah dengan kinerja otak yang mendorongnya untuk mencari-cari tujuannya datang ke daratan mulai memperngaruhi aktivitas. Baru kali ini Jeongguk rasai betapa nikmatnya sinar mentari pagi setelah bangun tidur dan bergulat dengan pikiran. Sang surya sedikit-banyak bisa membantu. Beruntunglah seorang pemuda bernama SeokJin itu bisa memilih kamar kos yang strategis. Punya tiga lantai dan dari balkon, Jeongguk berhasil melihat hampir seluruh atap rumah-rumah yang memenuhi tanah. Beberapa insan yang bertegur sapa juga ternyata menyenangkan kalau diperhatikan. Ia tidak ingat kalau Jogja setenang ini. Kepergiannya di tengah perang yang melanda memang tidak bakal bisa mengecap sedikit demi sedikit perubahan yang ada.

Geru suara NamJoon yang masih tergeletak di sisi kasur lain jadi mengingatkan Jeongguk kalau pemuda itu ternyata punya hubungan baik dengan beberapa manusia disini. Mungkin bisa mempermudah jalannya mencari memorinya sendiri yang hilang. Biarlah. Rencana bakal ia pikirkan setelah sarapan.

Titik-titik embun pagi di beberapa ranting dan daun dibawa Jeongguk mendekat. Melambaikan jemarinya. Meliuk-liuk seperti gerakan tari yang indah. Bulir-bulir air itu melayang-layang di udara. Mengkhianati gravitasi yang ditetapkan bumi. Anugerah yang diterimanya jadi seperti sebuah kutukan. Menggarisbawahi batas antara dirinya yang manusia dan dirinya yang sudah menetap di Istana Kidul. Kemampuannya mendatangkan ombak walau sedikit juga diturunkan dari Kanjeng Ratu. Katanya, sebagai perisai pelindung supaya tidak mudah dimanfaatkan orang. Ah, memang. Betapa ngerinya sewaktu manusia-manusia itu berbondong untuk memberikan sang Ratu sebuah hadiah. Mereka minta hal yang hampir mustahil. Jalan tikus untuk mempermudah pekerjaan atau jadi orang kaya baru. Sungguh aneh.

Percik air mengalir melewati tangan dan sampai ke lengan. Memutar seperti ular pemangsa yang melilit dahan. Setelah sampai di siku, kembali ke telapak dengan susah payah. Mungkin cuma ini hiburan yang ia punya, sekarang. Selagi belajar untuk bersosialisasi dengan dunia luar, mungkin ada baiknya kalau Jeongguk menjalin koneksi dengan SeokJin. Seseorang yang sepertinya sudah dikenal NamJoon lama. Bisa mempersingkat waktu. Ia menolak ada di daratan lama-lama.

"Kamu itu kalau sudah bangun itu bikin kopi gitu, lho." Geru suara NamJoon yang baru saja bangun seperti orang yang jarang sekali bicara. Datang dari dasar tenggorokan. "Kok, diam terus dari tadi. Ditunggu bukannya peka, malah kayak tidak sadar."

"Sudah tua. Bikin sendiri." Jeongguk malas menanggapi serius. Jari-jarinya kembali menari luwes. Bergerak-gerak di udara.

"Ndak usah pamer."

"Apa lagi?" tanya Jeongguk jengah. Mengapa pula NamJoon tidak membiarkannya tenang di hari-hari pertama. "Kamu itu diam sehari begitu ndak bisa?"

"Itu." Sebagai pengganti kopi yang dielukannya tadi, NamJoon menenteng secangkir air putih. Ditenggak beberapa kali sebagai penawar dahaga. "Kan, tidak semua bisa dapat anugerah begitu. Cuma kamu yang kesayangan Kanjeng Ratu." Nada kalimat itu sinis. Tapi Jeongguk cukup tahu kalau mas asuhnya cuma bercanda saja dan tidak pernah menganggapnya sesuatu yang patut untuk menguras tenaga karena amarah.

"Memang aku kesayangan. Kenapa? Ngiri?"

"Unggah-ungguh(tata krama) mu, le, le. Kok, Kanjeng Ratu ndak pernah marahi kamu, ya? Malah disayang-sayang."

"Mau dengar jawaban yang jujur atau yang diomongkan abdi-abdi lain?"

"Ndak perlu. Wong aku sudah tahu."

Jeongguk nyengir getir. "Ncen(memang) edan," gumamnya. Ia letakkan kembali titik-titik embun ke beberapa daun. Disebar supaya satu tidak keberatan. Takutnya, bakal langsung jatuh ke tanah. "Joon, Hajad Dalem sudah selesai, kan?"

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang